Cerpen: Kaki Salib di Kota Hujan
Di antara keramaian kota yang dipenuhi dengan deru hujan, terdapat seorang remaja yang tenggelam dalam keputusasaan. Namanya adalah Rama, dia adalah seorang pemuda yang telah lama terpisah dari cahaya Tuhan. Di hatinya, kegelapan telah menancap kuat, dan keyakinannya telah layu oleh badai kesulitan yang menggulungnya.
Rama berjalan di jalanan kota hujan itu, langkahnya terasa berat, seolah-olah beban hidupnya menyeretnya ke dasar. Kedua matanya yang dulu berkilau kini terlihat redup, tak lagi memiliki sinar yang mengisyaratkan kehidupan. Dia melangkah tanpa arah, mencari sesuatu yang tak pernah dia temukan.
Hari demi hari, Rama menghabiskan waktu di tengah gemuruh hujan yang meluluh-lantakkan jalanan. Dia berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang menghantuinya. "Mengapa Tuhan membiarkanku menderita?" "Apakah hidup ini tak lebih dari sengsara?" Pikiran-pikiran seperti itu menghantui Rama, menggerogoti setiap sisa-sisa kepercayaannya pada Tuhan.
Di kota hujan itu, Rama terombang-ambing seperti perahu yang kehilangan layarnya. Dia mencoba mencari jawaban-jawaban dalam materi dunia ini, berharap menemukan kepuasan di antara harta benda dan kenikmatan duniawi. Tetapi semakin dia mencari, semakin jauh pula dia merasa dari dirinya sendiri.
Suatu hari, Rama memutuskan untuk mencari sesuatu yang diyakininya akan memberinya jawaban. Dia berjalan ke berbagai toko, menyusuri lorong-lorong kecil yang dipenuhi dengan barang-barang berharga. Di setiap sudut kota itu, Rama mencoba menemukan kepingan kebahagiaan yang telah lama hilang dari hidupnya.
Dia memasuki toko-toko perhiasan, mencoba mencari sinar di dalam berlian-burlian yang bersinar di etalase. Namun, keindahan luar yang menggoda tak mampu mengisi kekosongan yang terdalam di hatinya. Rama merasa semakin terhimpit oleh keputusasaan.
Tak berhenti di situ, Rama juga mengunjungi toko-toko buku, mencoba mencari jawaban-jawaban dalam kata-kata bijak yang terpampang di rak-rak. Tetapi semakin banyak hal yang dia baca, semakin jauh pula dia merasa dari makna sejati kehidupan.
Lalu, Rama memutuskan untuk memasuki toko-toko barang antik, tempat-tempat di mana masa lalu berkumpul dalam benda-benda yang penuh dengan sejarah. Di sana, di antara perabotan kuno dan patung-patung zaman dahulu, dia merasa ada yang berbeda.
Rama tersentak saat matanya jatuh pada seorang tua yang sedang duduk di antara barang-barang antik. Orang tua itu bernama Tinus, seorang yang telah lama hidup di kota hujan ini. Wajahnya yang keriput menyiratkan kedalaman pengalaman hidup.
Tinus tersenyum ramah saat melihat Rama yang terlihat kebingungan di antara barang-barang antik itu. "Apakah yang kau cari, anak muda?" tanya Tinus dengan suara lembut.
Rama mengangkat pandangannya dan bertemu dengan mata Tinus yang penuh dengan kebijaksanaan. Tanpa sadar, Rama mulai menceritakan tentang pencariannya yang tak kunjung berujung.
Tinus mendengarkan dengan penuh perhatian. "Kau tahu, kadang-kadang jawaban yang kita cari bukanlah sesuatu yang bisa kita beli dengan uang," kata Tinus, matanya menerawang ke arah sebuah patung kecil yang tersembunyi di pojok toko. "Sesuatu yang berharga mungkin sudah ada di dalam dirimu sendiri."
Rama terdiam, merenungkan kata-kata Tinus. Apakah jawaban yang dia cari selama ini memang telah ada di dalam dirinya sendiri? Apakah semua pencarian itu hanyalah pelarian dari kenyataan yang sulit dia hadapi?
Dalam keheningan yang mengalun di antara mereka, Rama merasakan kehadiran Tuhan yang tak terduga. Dia merasakan sebuah kehangatan yang menyebar di dalam dirinya, menghapus dingin yang telah lama merajai hatinya.
Tanpa berkata-kata, Rama berjalan mendekati patung kecil yang tersembunyi di pojok toko. Patung tersebut adalah patung Yesus di kayu salib. Wajah-Nya terukir begitu mendalam, seolah-olah memberi Rama sebuah tatapan penuh kasih yang tak terduga.
Saat Rama mengangkat patung itu, dia merasakan getaran yang aneh mengalir melalui tubuhnya. Sebuah perasaan hangat menyelimuti hatinya, dan dia merasakan air mata mengalir dari matanya yang kering. Di dalam kedalaman hatinya yang sunyi, ada sesuatu yang tumbuh, sesuatu yang telah lama terlupakan.
Rama memegang patung itu erat-erat, seolah-olah dia menemukan sebuah penuntun di tengah gelapnya kehidupan. Dia merenung, membiarkan hatinya terbuka pada keajaiban yang baru saja dia rasakan. Seketika itu juga, dia sadar bahwa pencarian sesungguhnya bukanlah di dunia luar, melainkan di dalam dirinya sendiri.
Dengan langkah yang lebih mantap, Rama meninggalkan toko barang antik itu. Namun, kali ini, dia tak lagi merasa sendirian. Ada sesuatu yang menyertainya, sesuatu yang memberinya kekuatan untuk melangkah maju.
Hari-hari berlalu, dan Rama mulai menemukan kedamaian di dalam dirinya sendiri. Dia belajar untuk memaafkan dirinya sendiri atas kesalahan-kesalahan yang pernah dia lakukan, dan dia belajar untuk menerima kasih yang telah lama ditawarkan oleh Tuhan.
Setiap kali hujan turun di kota itu, Rama mengingat kembali perjalanan panjangnya menuju kaki salib. Dia menyadari bahwa hujan yang dulu dianggapnya sebagai kutukan, kini menjadi berkah baginya. Setiap tetes hujan adalah pengingat akan kasih yang tak pernah lepas dari kehidupannya.
Dan di antara gemuruh hujan, Rama menemukan keajaiban yang sejati. Dia menemukan kembali iman yang telah lama hilang, dan dia menemukan kembali Tuhan yang selalu menunggunya dengan tangan terbuka.
Kaki salib di kota hujan itu bukanlah sekadar sebuah benda fisik, melainkan sebuah simbol yang mengingatkannya akan keajaiban yang tersembunyi di dalam setiap sudut kehidupan. Dan Rama, pemuda yang hampir melupakan Tuhan, kini berjalan dengan penuh keyakinan, mengikuti jejak langkah-Nya menuju cahaya yang tak pernah pudar.