Cerpen: Sih Bocah

Cerpen: Sih Bocah-Faustina Fitriane Nde’e Andu


 Cerpen: Sih Bocah-Faustina Fitriane Nde’e Andu

Di balik jendela kamar, Zola menatap rumah disebrang yang baru saja pindah. Ia penasaran pada seorang anak laki-laki yang sedang berdiri sendirian tanpa menghiraukan kurir pengantar barang. Anak itu serentak menatap Zola lalu tersenyum sinis seolah memergoki Zola yang menatapnya diam-diam. Zola kaget dan berlari keluar dari kamarnya. 

“Jangan berlari di dalam rumah nak. Cepat bantu Ibu menyiapkan makan malam.”

“Baik Bu.”

Makanan sudah siap, tetapi belum disentuh. Zola memainkan sendok untuk menghindari kejenuhan. Ia merasa Ibunya aneh. Meski tahu Ayah Zola tidak akan pulang sekarang, tapi tetap bersih keras untuk menunggu. Pada akhirnya mereka berdua makan lebih dahulu tanpa Ayah Zola. 

Pagi subuh, Zola terbangun. Ia mendengar Ayah dan Ibunya bertengkar. Tetapi Zola tidak menghiraukan hal itu dan mencoba tidur kembali. Namun gagal. Ia terjaga hingga pukul enam pagi. Pertengkaran masih tetap berlanjut. Bentakan serta makian sudah menjadi ucapan selamat pagi. Tanpa sadar, hal itu juga membuat Zola lebih mandiri untuk mengurus diri. 

Rutinitas pagi Zola lakukan sendiri, tanpa campur tangan Ibunya. Yang ia tahu, ketika turun dari kamarnya dia akan berangkat sekolah dan diantar oleh ayahnya. Ia tak berani ikut campur perihal orang dewasa. Zola sempat berpikir, apakah beranjak dewasa juga menciptakan jarak sebuah pada hubungan? Entahlah. 

“Ayah, aku sudah siap. Apa kita boleh berangkat sekarang?” 

Suara Zola membuat Ayah dan Ibunya berhenti berteriak. Ibu Zola menepuk dahi karena lupa mengurus anaknya dan tidak menyiapkan sarapan. Seperti biasa, Ibunya akan merasa bersalah dan memberikan Zola uang jajan.

“Baiklah Nak. Ayo kita berangkat.”

Zola mengangguk, lalu berjalan keluar rumah sambil menunggu Ayahnya mempersiapkan mobil di dalam garasi. 

Lagi-lagi anak kecil yang sama berdiri sendirian di halaman rumahnya. Ia melihat Zola dengan ekspresi datar. Zola semakin penasaran pada anak itu sehingga ia memutuskan untuk menyebrang jalan lalu menghampiri dia. 

“Hai Bocah!”

Zola menyapa anak itu dengan sebutan bocah karena badannya kurus dan pendek. Tetapi  ia tidak menghiraukan Zola. Reaksi anak itu tidak membuat Zola berhenti mengajaknya bicara. Ia malah mencari topik untuk dijadikan pembicaraan. 

“Emm, kau ingin pergi kemana? Pakaianmu rapih sekali.”

“Aku ingin pergi ke Dokter.”

Zola mengangguk paham. Anak itu menjawab dengan ekspresi yang sama. Kelihatan tidak peduli. Zola ingin bertanya lagi, namun Ayahnya memanggil dia untuk segera masuk  ke dalam mobil. Zola terpaksa meninggalkan anak itu. Namun ia harus segera pergi sambil melambaikan tangannya. Tanpa sadar, ia menjatuhkan uang jajan yang diberikan Ibunya. Anak itu menyadari hal tersebut lalu lari menghentikan Zola.

“Kau menjatuhkan uangmu.”

“Terimakasih.”

Mereka berdua tersenyum. Zola merasa senang, akhirnya anak itu menghampiri dia lebih dahulu. 

Tiba-tiba sebuah truk datang dengan kecepatan tinggi, mendekat ke arah mereka. 

Tiiinnn tttiiiinnn...

Mustahil jika Zola dan anak itu berhasil menghindar dengan kaki kecil mereka. Sorotan mata mereka terkejut sekaligus takut. Tapi, secepat kilat Ayah Zola datang menolong.

Brukkk

Suara tabrakan terdengar sangat keras, membuat para tetangga keluar dan ingin melihat apa yang terjadi. Zola tergeletak di atas jalan raya dengan darah yang memerahkan baju seragam setara dengan warna roknya. Apakah luka ini membuat dia mati rasa? Habisnya, ia tidak merasakan apa-apa.  

Warga berkerumun mengelilingi Zola. Pak RT mendekat dan menutupi tubuh Zola dengan sebuah karung karena ngeri. Namun Zola menghindar. Ia menyadari bahwa karung itu memang bukan untuknya, tapi untuk menutupi mayatnya.  Pak Leksi tetangga Zola, bergegas menelpon Polisi dan Ambulans walaupun tangannya tremor. 

Ibu Zola yang juga mendengar suara tabrakan tadi, dan berdiri di depan rumahnya. Namun, tubuhnya melemah  ketika melihat seorang anak kecil yang memakai gelang bunga tergeletak berlumuran darah. Ia melangkah menghalau kerumunan dan mendapati anaknya tergeletak tak bernyawa. Ia menangis histeris lalu memeluk erat anak perempuannya.

Di saat yang bersamaan, seorang suami juga sedang melindungi putranya dari maut yang merenggut nyawa putrinya. 

Zola tersenyum sinis. 

Anak itu menatap Zola dengan perasaan campur aduk. Entah merasa bersalah, sedih, marah, atau mungkin dendam. 

Zola yang malang. Kata orang, bahagia tercipta ketika memiliki keluarga yang utuh. Tetapi bagaimana jika salah satu anggota keluarga bukanlah milik kita seutuhnya. Zola mengalaminya. Ia mendapat kasih sayang seorang Ayah sebatas supir pengantar jemput. Miris, namun membuat hati teriris. 

Zola menghampiri Ibunya. Ia mematung tak bersuara, hanya air mata yang berbicara.

Ternyata orang dewasa juga pandai memanfaatkan kesempatan meski sempit, Zola takjub melihat keluarga romantis yang manis. 

Jlebb

Ayah Zola terjatuh. Cairan merah mengalir dari perutnya. Ia berteriak kesakitan. Ibu Rehan berteriak mengemis pertolongan. Namun, warga di sekitar hanya menatap. Tak kunjung bergerak. Entah apa yang mereka lihat, hingga tatapan kasihan berubah menjadi kengerian.

“Zola, sekarang kau bisa melampiaskan amarahmu.”

Bocah ini pendendam rupanya.


Oleh: Faustina Fitriane Nde’e Andu

Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org