Cerpen: Rumah-rumah - Gonsa Thundang

Cerpen: Rumah-rumah - Gonsa Thundang

"Akhirnya rumah itu tak beratap, tak berdinding, tak berjendela, dan tak berpintu. Lalu mengapa kau masih menyebutnya sebagai rumah kediaman yang nyaman?"

Pertanyaan itu terpendam dalam pikiran sesaat melihat halaman rumah itu mulai dipenuhi puing-puing ingatan dan memori yang telah dirobohkan oleh waktu. Beberapa orang sibuk lalu-lalang tanpa memperhatikan puing-puing yang berserakan. Sesekali, orang tersandung kayu atau paku dari puing tersebut, tetapi tetap berjalan tanpa memperhatikan. Ada juga beberapa orang yang tersandung di halaman rumah itu lalu melontarkan berbagai kata syair-syair kasar dalam bahasa daerah setempat, yang sangat umum namun menyakitkan didengar oleh telinga.

Entah ada masalah apa dengan orang-orang atau pemiliknya sehingga merusak rumah tersebut sampai menyebabkannya berakhir seperti itu. Yang pasti, rumah itu sekarang tidak lagi memiliki bentuk fisik yang dapat disebut sebagai tempat tinggal bagi siapa pun, baik sedikit maupun banyak. Bahkan salah satu jendelanya telah dicuri oleh tukang-tukang nakal yang dengan sengaja mencopet dan menghilangkan jendelanya. Beberapa pintu pun juga mengalami nasib yang sama. Kata seseorang yang pernah menjadi tukang merusak rumah, pastinya jendela dan pintunya pun bernasib sial, dengan beberapa bahan organik yang berakhir di tungku api rumah tukang-tukang nakal tersebut.

Tak terpikirkan, mengapa salah satu penghuni rumah itu masih mempertimbangkan untuk tinggal di sana. Kenangan yang telah lama terpendam di rumah itu telah hancur, bahkan ada yang berubah menjadi abu, menghanguskan pikiran-pikiran yang seharusnya tumbuh di rumah orang lain. Dari kejauhan, penghuni yang terdiam itu terus memperhatikan rumahnya dihancurkan oleh tangan-tangan tukang nakal. Dengan penuh duka, sang pemilik merelakan rumahnya dirobohkan menjadi rata dengan tanah yang bergelombang di depan halaman rumahnya. Hujan turut merasakan duka pemilik rumah. Hari itu, hujan menangis lebih lama dari biasanya, seolah enggan melihat rumah tempatnya bermain
dengan pemiliknya hilang dan menjadi tanah yang bergelombang.

Para tukang pun menghentikan pekerjaan mereka karena sudah selesai, terutama setelah hujan datang membuat mereka kesulitan. Mereka menyingkir ke teras rumah tetangga, raut dan tertawa sinis melihat dari wajah para tukang-tukang nakal itu melihat rumah yang baru saja mereka hancurkan. Sementara itu, pemilik rumah masih berduka bersama hujan di balik pepohonan yang tumbuh subur di halaman rumah yang sekarang telah menjadi tanah kosong. Hujan semakin deras tanpa tanda-tanda akan mereda di mantan halaman rumah itu. Kedukaan masih menyelimuti mantan pemilik rumah yang kini menyadari bahwa dia juga mantan pemilik rumah, bersama awan di mantan halaman rumah itu. Gerimis turun, sampai-sampai pelangi pun tidak mampir di ubun-ubun awan di mantan halaman rumah itu.

Para tukang bergegas mengemas peralatan mereka, cemas bahwa hujan akan bertahan lebih lama. Mereka mengenakan mantel hujan berwarna-warni dengan corak mirip logo institusi atau partai, lalu berjalan pulang menjauhi lokasi, seakan melupakan kesalahan besar yang mereka lakukan hari itu.

Pada akhirnya, mantan pemilik rumah tetap berada di sana, berteduh bersama gerimis dari hujan yang tak terbendung di mantan halaman rumah itu. Matahari terus menjauh, tak pernah berhenti menuju lingkaran yang tak berujung.

Kesedihan memang bertindak demikian, selalu memperlakukan tuannya dengan menyiraminya dengan air mata dari kesedihan yang telah lama terpendam dalam ingatan, lalu tak terbendung lagi oleh mata. Lama-kelamaan, tuannya akan basah kuyup. Akhirnya, tuannya akan jatuh sakit dan gagal untuk melupakan penderitaan yang dialaminya.

Semakin hari, mantan halaman rumah itu semakin tak berbentuk, terkutuk dan terpuruk oleh hujan serta rumput liar yang susah dijinakkan oleh manusia. Pondasi rumah tak lagi terlihat, digantikan oleh semak belukar yang sering disebut masyarakat lokal sebagai "sensus". Kenangan yang dulu menggembirakan kini digantikan oleh kegelapan semak belukar yang dihuni oleh ular liar dan burung gereja yang kehilangan rumah mereka.

Hari-hari kian bergulir, bulan-bulan pun mengalir di antara waktu yang kian melaju. Akhirnya, mantan pemilik rumah kini menjadi tunawisma di antara deretan rumah-rumah yang kokoh dibangun di sekitar semak belukar itu. Dia berkeliaran dan menjadi liar di sekitar perumahan yang semakin bertambah dan semakin sesak dipandang. Sesekali, tunawisma itu menjelma menjadi pengantar pesan, mengajak orang untuk sekadar pergi melihat atau mengintip isi rumah-rumah yang penuh sesak itu, untuk mengetahui seperti apa kondisinya. Kadang juga dia berperan sebagai penjual sayuran keliling, yang ingin mendengar gosip-gosip perihal rumah tangga yang retak di perumahan itu dari ibu-ibu yang datang membeli sayurannya. Atau terkadang dia menjadi seorang pemuka agama, agar sesekali bisa merasa didengarkan dan mendengar keluh kesah para jamaah yang datang berdoa bersamanya.

Toh pada akhirnya, dia adalah kita, manusia yang di setiap hari melihat orang-orang di sekitar kita yang kesulitan, tapi kita sering kali enggan membantu atau memberikan alasan yang tidak masuk akal hanya untuk merasa aman.

Kita adalah manusia, tapi apakah yang dimaksud dengan manusia?


Oleh: Gonsa Thundang

Cerpen: Tok-tok, tik-tik- Gonsa Thundang
Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org