Cerpen: Gewang - Adriani Miming
Kisah seorang anak yang lahir dari sebuah keluarga sederhana serba kekurangan. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Kehidupan keluarganya selalu berada pada episode yang tidak baik-baik saja.
Ia adalah Gewang, gadis kecil, imut, dan manis. Kakaknya bernama Sari, dan adiknya bernama Christin. Kesehariannya adalah sebagai siswi kelas satu SMP. Mereka sekeluarga baru setahun menetap di kampung. Sebelumnya, Gewang dan keluarganya tinggal di ibu kota kabupaten selama ayahnya bekerja di salah satu instansi pemerintahan. Namun, setelah ayahnya terjerat kasus korupsi hingga dipecat dari pekerjaannya, mereka sekeluarga akhirnya memutuskan untuk kembali dan tinggal di kampung untuk mengurusi sawah dan ladang warisan orang tua.
Selama setahun hidup di kampung, Gewang sudah mulai masuk bangku SMP. Keadaan ekonomi keluarga semakin memburuk. Penghasilan hanya berasal dari sawah dan ladang yang tidak seberapa. Memelihara kerbau juga tidak kunjung membuahkan hasil. Ditambah lagi, Sari, kakak Gewang, sudah masuk bangku kuliah.
Dengan situasi ekonomi keluarga yang serba kekurangan, hubungan antara anggota keluarga pun berangsur-angsur merenggang. Setiap hari, ayah dan ibu Gewang selalu bertengkar memperdebatkan uang kuliah kakaknya yang terbilang mahal. Apalagi, sang kakak kuliah jauh di Jawa. Uang kuliah yang mahal ditambah biaya hidup di Jawa juga sangat besar. Tidak ada hal lain yang dibicarakan, selalu saja tentang uang dan uang.
Gewang, yang sudah memasuki jenjang pendidikan SMP, sangat mengerti perihal konflik dalam keluarganya. Ia sangat memahami perasaan ibunya yang selalu berada di bawah tekanan sang ayah, yang temperamental, pekerja keras, dan sangat perhitungan. Untuk meminta uang sekolah saja, Gewang tidak berani. Ia sangat takut dimarahi ayahnya. Gewang selalu memilih untuk bercerita kepada ibunya karena hanya ibunya yang mengerti dirinya. Walaupun, pada akhirnya, ibu tetap harus kembali meminta uang sekolah Gewang kepada sang ayah, yang berakhir dengan pertengkaran sengit lagi.
Pertengkaran yang selalu mewarnai kehidupan sehari-hari keluarga membuat Gewang semakin tertekan secara batin. Apalagi, ia melihat ekspresi ketakutan pada wajah adiknya ketika ayah dan ibu bertengkar. Adiknya yang masih berusia lima tahun tidak mengerti apa-apa tentang kehidupan, hanya bisa menangis ketika melihat pertengkaran antara ayah dan ibu. Christin tumbuh menjadi pribadi yang pendiam dan kaku. Ia selalu berlindung di bawah ketek sang ibu. Berbicara dengan orang lain pun hanya seperlunya saja.
Berbeda dengan Gewang, yang selalu ceria dan bersemangat, meskipun ia menyembunyikan segala beban batinnya. Ia adalah anak yang berprestasi di sekolahnya dan tidak sedikit pun terlihat manja. Saking takutnya menambah beban orang tua karena uang sekolah, Gewang terpaksa berinisiatif menjual pisang goreng di sekolah untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan uang sekolahnya. Meski sibuk berjuang, Gewang tidak pernah melupakan kewajibannya untuk belajar. Ia berbeda dari remaja pada umumnya yang hidup dengan tenang dan mendapat perhatian penuh dari orang tua.
Setiap kali menjelang ujian akhir semester, nama Gewang selalu berada di urutan pertama pada papan pengumuman tunggakan Sumbangan Biaya Pendidikan (SPP). Ia hanya bisa menangis dalam hati menghadapi kenyataan hidupnya.
Sepulang sekolah, Gewang langsung pulang ke rumah dan membicarakan tentang tunggakan uang sekolahnya kepada sang ibu.
“Kamu sudah pulang, Nak?” tanya ibu.
“Iya, Bu,” jawab Gewang lirih.
“Ada apa dengan wajahmu yang sedih itu, Nak? Kamu sakit?” tanya ibu dengan nada cemas.
“Bu.. uang sekolahku masih ada yang tunggak. Minggu depan ujian akhir semester sudah tiba. Aku tidak bisa ikut ujian kalau masih ada tunggak uang sekolah” gumam Gewang.
“Tenang saja nak,” kata ibu
“sebentar ibu coba omong dengan ayah tentang uang sekolahmu.”
“Iya bu, makasih ya.” Jawab Gewang
“Ayah dan ibu tidak perlu terlalu beban. Sebagian uang sekolahku sudah aku lunaskan dengan tabungan hasil jual pisang goreng.”
Ibu sambil meneteskan air matanya dan berkata “kamu memang anak yang rajin pengertian nak, seharusnya itu semua bukan pekerjaanmu melainkan kewajiban kami sebagai orang tua. Maafkan ayah dan ibu ya nak.”
“Sudahlah bu, gewang mengerti.” sahut gewang sambil tersenyum.
“Gewang, istirahat dulu ya ajak dengan adikmu untuk tidur siang.” pinta sang ibu.
Gewang berkata “bu aku lanjut goreng pisang dulu. Tadi di sekolah guruku ada pesan dan disuruh antar ke rumahnya. Sore ini dirumah guruku ada arisan.” Sang ibu hanya mengangguk pelan dan diam. Gewang langsung bergegas menuju dapur untuk melanjutkan aktivitasnya. Cristin adiknya ikut membantunya kupas pisang di dapur sambil gewang mengajak adiknya untuk ngobrol. Sementara asik ngobrol, ayah pulang dari kebun dengan raut wajah yang amat lelah. Langsung duduk di kursi ruang makan. Lalu sang ibu mengampiri dan duduk di kursi hendak menyampaikan perihal keluhan uang sekolah Gewang.
“Pa.. uang sekolah Gewang masih ada yang belum lunas” Kata ibu.
“minggu depan dia ujian. Gewang tidak bisa ikut ujian kalau uang sekolah untuk semester ini belum lunas.”
Sang ayah menjawab “Rupanya kamu sudah lupa kalau kemarin sore Sari telpon minta uang kos dan uang belanja untuk bulan ini.”
“Lalu bagaimana sudah pa?” ibu bertanya
“ahh sudahlah, aku pusing sekali. Kamu pikir cari uang itu gampang.” Jawab ayah dengan nada kesal dan marah. Ibu langsung marah dan hatinya terasa sakit sekali ketika mendengar jawaban suaminya. “Bukan begitu cara menyelesaikannya pa, coba omong baik-baik saja. Kita seperti ini juga gara-gara papa. Kalau saja dulu papa tidak korupsi mungkin kita tidak kesusahan seperti ini.” Mendengar omelan dari istri sang ayah meluapkan kemarahannya dengan menampar istrinya. Peristiwa itu disaksikan langsung oleh Gewang dan Cristin. Mereka hanya bisa menangis kasian terhadap sang ibu.
Melihat semua pertengkaran antara ayah dan ibu, Gewang menelan banyak kesedihan dan luka mendalam. Ia merasa hidupnya benar-benar sendiri dan tidak ada yang peduli dengan kesulitannya. Namun, Gewang tidak larut dalam kesedihannya. Ia memang anak yang sangat tegar. Seperti biasa, ia menjalani kewajibannya sebagai anak sekolah: belajar, menjual pisang goreng, dan membantu pekerjaan rumah. Tidak sedikit pun ia tunjukkan melalui wajahnya perihal luka menganga di dalam hatinya.
Seminggu berlalu. Tibalah saat Gewang akan menghadapi ujian akhir semester. Gewang terlihat lesu karena merasa percuma pergi ke sekolah untuk ikut ujian jika uang sekolah belum lunas—pasti saja ia akan diusir. Sang ibu memandang wajah Gewang dengan penuh pengertian, menyadari bahwa anaknya sedang memikirkan uang sekolah. Pagi itu, sebelum Gewang berangkat sekolah, ibu berusaha meyakinkannya.
“Semuanya akan baik-baik saja, Nak. Yang penting, kamu pergi sekolah dan ikuti ujiannya.”
Sesampainya di sekolah, Gewang dengan percaya diri bergabung dalam barisan di halaman sekolah untuk mendengar pengumuman dari kepala sekolah. Namun, yang berdiri di depan ternyata bukan kepala sekolah, melainkan guru bendahara komite sekolah. Gewang langsung mengerti apa yang akan terjadi. Seketika, tubuhnya gemetar karena ia tahu namanya akan dibacakan, dan ia akan disuruh pulang karena belum melunasi uang sekolah.
Guru bendahara mulai membuka buku catatan penunggakan, dan benar saja, nama Gewang disebutkan. Air mata Gewang serentak menetes. Dengan langkah kecil, ia keluar dari barisan, berjalan menuju gerbang sekolah, dan segera pulang karena tidak diizinkan mengikuti ujian.
Sesampainya di gerbang sekolah, Gewang melihat sosok yang memanggilnya. Ternyata itu adalah ibunya. Seperti malaikat tanpa sayap, sang ibu datang tepat waktu. Melihat kedatangan ibunya, hati Gewang terharu, bercampur antara rasa senang dan sedih. Air matanya tak terbendung, mengalir deras membasahi pipinya.
Sang ibu pun langsung memeluk Gewang sambil menangis dan berkata, “Jangan menangis. Ibu sudah bertemu kepala sekolah dan membawa uang sekolahmu.”
Gewang menghapus air matanya dan memeluk ibunya dengan erat. “Terima kasih banyak, Bu. Ibu pasti kena marah dari Ayah karena memaksa meminta uang sekolahku. Padahal itu uang anggaran kos Kakak Sari untuk bulan ini. Gewang minta maaf, Bu,” lirihnya.
“Sudahlah, Nak, jangan menangis, ya,” ujar sang ibu sambil merapikan rambut Gewang dan menghapus air matanya. “Kamu fokus ujian saja. Jangan pikirkan tentang uang. Itu urusan Ayah dan Ibu,” lanjutnya.
Gewang hanya menganggukkan kepala dan menatap ibunya dengan penuh haru.
“Kamu masuk kelas dan ikut ujian,” pinta ibunya lembut.
Gewang pun bergegas kembali ke kelas untuk mengikuti ujian.
Setelah beberapa hari ujian berlalu, Gewang menyadari ada yang berbeda. Setiap kali ia pulang dari sekolah, sang ibu tidak pernah ada di rumah. Adiknya memberi tahu bahwa ibu pergi ke sawah setiap hari, sedangkan ayah sibuk mengurus kerbau dan membersihkan kebun.
Ayahnya yang temperamental itu menyadari situasi ekonomi rumah tangganya. Ia berusaha menghidupkan kembali situasi yang runyam dalam kehidupan mereka. Gewang, yang menyaksikan perubahan sikap ayahnya, merasa terharu sekaligus kasihan.
Di sisi lain, Gewang merasa heran karena biasanya ibunya tidak ke sawah setiap hari. Namun, ia tidak banyak bertanya ketika ibunya sudah pulang ke rumah. Dalam hati, Gewang merasa sedih dan kasihan melihat ibunya yang tampak sangat lelah.
Walaupun Gewang jarang berkomunikasi dengan ayahnya, ia tetap peduli dan sangat menyayangi ayahnya.
Keesokan harinya, saat di sekolah, Gewang dipanggil oleh teman sekelasnya yang juga tetangga dekat rumahnya. Karena hari itu adalah hari terakhir ujian, temannya mengajak Gewang bermain ke sawah. Ia juga memberi tahu bahwa selama satu minggu terakhir, ibunya Gewang bekerja di sawah milik keluarga temannya untuk mendapat upah harian. Gewang terkejut dan merasa sedih. Ternyata, ibunya bekerja keras mencari uang demi membayar sekolahnya, tanpa memberi tahu anak-anaknya.
Gewang menolak ajakan temannya dengan alasan masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Ia pun langsung bergegas pulang.
Sepulang sekolah, Gewang melanjutkan aktivitasnya, membereskan pekerjaan rumah sembari menunggu ayah dan ibu pulang dari kebun. Sore harinya, saat ibunya sudah pulang, Gewang menghampirinya dan bertanya dengan lembut, “Ibu kemana saja selama beberapa hari ini? Kelihatannya Ibu sangat lelah.”
“Ibu ke kebun. Kamu tahu kan, sekarang sudah musim penyiangan padi? Jadi, Ibu harus ke sawah setiap hari,” jawab ibunya dengan tenang.
Namun, Gewang tetap ngotot dan berkata bahwa ia sudah tahu ibunya bekerja di sawah orang demi mendapatkan upah harian untuk membayar uang sekolahnya.
“Gewang tahu, Bu. Ibu pergi kerja ke sawah orang demi melunasi hutang yang Ibu pinjam untuk membayar uang sekolahku,” gumamnya dengan suara pelan.
“Sudahlah, Nak. Jangan khawatirkan Ibu. Belajar yang rajin, ya. Bikin Ayah dan Ibu bangga,” pinta ibunya sambil tersenyum dan merapikan rambut Gewang.
“Gewang mengerti, Bu. Tapi Ibu tidak seharusnya banting tulang dan lelah seperti ini. Kita harus mencari solusi lain,” jawab Gewang lirih namun tegas.
Sang ibu hanya tersenyum.
Hari-hari berlalu, Gewang dan keluarganya terus berjuang melawan kesulitan ekonomi. Hingga suatu hari, saat Gewang pulang sekolah, ia merasakan suasana rumah yang berbeda. Rumahnya sepi, dan adiknya, Cristin, menangis di sudut ruangan.
Gewang segera menghampiri Cristin dan bertanya, “Cristin, ada apa? Kenapa menangis?”
Cristin hanya menangis lebih keras. Gewang merasa cemas dan segera mencari ibunya. Di kamar, ia menemukan ibunya terbaring lemas di tempat tidur, sementara ayahnya duduk di samping dengan wajah cemas dan putus asa.
“Ibu! Ibu kenapa?” Gewang berlari mendekat.
Ayahnya menjawab dengan suara bergetar, “Ibumu sakit parah, Gewang. Kita harus membawanya ke rumah sakit.”
Gewang merasa dunianya runtuh. Dengan sekuat tenaga, mereka membawa ibunya ke rumah sakit terdekat. Namun, takdir berkata lain. Beberapa hari kemudian, ibunya meninggal dunia akibat kelelahan dan penyakit yang sudah lama dideritanya tanpa diketahui.
Kepergian ibunya meninggalkan duka mendalam bagi Gewang dan keluarganya. Ayahnya semakin sering sakit-sakitan dan tak mampu lagi bekerja di kebun. Gewang, yang masih duduk di bangku SMP, harus menjadi tulang punggung keluarga.
Setiap hari, sepulang sekolah, Gewang bekerja keras. Ia tidak hanya menjual pisang goreng, tetapi juga membantu tetangga untuk mendapatkan uang tambahan. Gewang tahu dirinya adalah harapan terakhir keluarganya.
Meskipun berat, Gewang tidak pernah menyerah. Ia terus belajar dengan giat dan tetap berprestasi di sekolah. Keteguhan hatinya membuat guru-gurunya kagum dan sering membantunya dengan memberikan beasiswa serta bantuan lainnya.
Kehidupan Gewang berubah drastis. Tanggung jawab besar di usia muda membuatnya tumbuh lebih cepat dibanding teman-temannya. Namun, ia tetap menjaga semangat dan keceriaannya. Gewang tahu bahwa ibunya tidak akan menginginkan dirinya menyerah pada keadaan. Di sisi lain, kakaknya, Sari, yang berada di Jawa, juga merasakan tekanan luar biasa.
Sari, yang sebelumnya penuh semangat menyelesaikan kuliahnya, mulai kehilangan fokus. Uang kiriman dari rumah tidak pernah datang lagi; bahkan untuk makan sehari-hari pun ia mulai kesulitan. Ia mencoba menghubungi Gewang, tetapi Gewang hanya bisa menangis di telepon.
“Maaf, Kak... Gewang tidak bisa bantu. Ibu sudah tidak ada, dan Ayah sakit-sakitan. Gewang hanya bisa jual pisang goreng dan bantu tetangga...” Suara Gewang bergetar menahan tangis.
Mendengar itu, Sari merasa terpukul. Dalam hati, ia sadar dirinya tidak bisa lagi egois mengejar pendidikan sementara keluarganya berada di ambang kehancuran. Akhirnya, dengan berat hati, Sari memutuskan untuk berhenti kuliah. Ia mengirim surat kepada dosennya, menjelaskan keadaan keluarganya, dan mengundurkan diri secara resmi.
Setelah meninggalkan kampus, Sari berjuang mencari pekerjaan di kota besar. Awalnya, ia bekerja serabutan menjadi pelayan di sebuah warung makan, kemudian mencoba melamar ke pabrik-pabrik untuk mendapatkan pekerjaan yang lebih tetap. Hidup di perantauan tanpa dukungan keluarga sangat berat, tetapi Sari terus bertahan.
Ia mengirim sebagian dari penghasilannya yang kecil untuk membantu Gewang di kampung, meskipun ia sendiri sering makan dengan sangat hemat. Dalam pesan-pesan singkat kepada Gewang, Sari selalu memberi kekuatan.
"Gewang, jangan pernah menyerah. Kakak di sini baik-baik saja, meskipun tidak lagi kuliah. Aku hanya ingin melihat kamu tetap sekolah dan berprestasi. Kamu harapan keluarga kita sekarang."
Gewang membaca pesan itu dengan air mata berlinang. Ia tahu, keputusan kakaknya untuk berhenti kuliah adalah pengorbanan besar, dan itu menjadi dorongan baginya untuk terus berjuang. Gewang bertekad akan membalas pengorbanan kakaknya suatu hari nanti.
Gewang merawat ayahnya dengan penuh kasih sayang, meskipun ayahnya sering merasa bersalah dan menyesal atas segala yang terjadi. Gewang selalu berkata, “Ayah, jangan khawatir. Kita bisa melewati ini bersama. Aku akan berusaha sekuat tenaga demi kita semua.”
Gewang melanjutkan hidupnya dengan penuh semangat dan harapan. Ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus berjuang, dan suatu hari nanti, ia akan membawa keluarganya keluar dari kemiskinan.
Gewang berdiri di depan pintu rumahnya yang reyot, menatap sinar matahari pagi yang menembus sela-sela dedaunan pohon mangga di halaman. Udara pagi yang segar terasa menyejukkan. Namun, di balik ketenangan itu, hatinya bergejolak. Di tangan kanannya, ia memegang surat pemberitahuan dari sekolah tentang beasiswa penuh yang akan membebaskan biaya sekolahnya hingga tamat. Sebuah kesempatan yang sangat berarti, yang ia harapkan bisa membawa keluarganya keluar dari kesulitan.
Gewang tersenyum tipis, tetapi matanya berkaca-kaca, dipenuhi harapan dan keraguan. Harapan bahwa dengan beasiswa ini, hidupnya bisa berubah, bahwa ia bisa memberikan kebahagiaan untuk keluarga yang selalu berjuang keras. Namun, keraguan juga muncul: apakah ia cukup kuat untuk menghadapi segala tantangan yang akan datang? Apakah uang yang ia miliki saat ini cukup untuk menutupi segala kebutuhan lain yang mendesak?
“Aku bisa, Bu. Aku bisa buat Ibu bangga,” bisik Gewang pada dirinya sendiri, seolah berbicara pada bayangan ibunya yang hadir di angin pagi.
Ia menghela napas dalam, menyimpan amplop itu di kantongnya, lalu berjalan menuju sekolah. Langkah Gewang terasa ringan, meski di hatinya ada pertanyaan besar yang terus bergema: “Apakah aku benar-benar bisa membawa keluarga ini keluar dari kegelapan ini?”
Namun, Gewang tetap berjalan tanpa pernah melihat ke belakang.