Cerpen: Kutitip Natal untuk Anakku - Angel Delviani
“Halo, Nana, Natal tahun ini tidak pulang kampung lagi kau?” tanyaku di sambungan telepon.
“Maaf, Papa, tahun ini saya sibuk. Saya sebetulnya ingin Natal di kampung,” jawab anak sulungku.
“Tidak apa-apa, Nana, jangan lupa makan dan jaga kesehatan, e,” jawabku sembari menutup telepon.
Ketiga anak saya memiliki jawaban yang sama setiap kali aku hubungi untuk pulang dan merayakan Natal di rumah bersama.
Sedari tadi, Marta melihat keluar jendela dengan tatapan kosong. Dari balik jendela, tetangga di depan rumah berkumpul sambil bercanda ria. Anak-anak mereka yang tidak sehebat anakku bisa pulang kampung setiap kali perayaan Paskah maupun Natal. Aku tahu bagaimana rindunya terhadap anak kami. Sederhana tetapi sangat kami impikan.
“Kapan anak-anak kita pulang? Anak-anak kita semakin besar, seleranya semakin berubah. Dulu tidak mau makan kalau bukan aku yang masak. Sekarang, untuk pulang kampung saja mereka tidak mau,” keluh istriku.
“Jangan berkata demikian. Kau yang menyuruh mereka meraih cita-cita setinggi mungkin, bukankah kau bangga dengan itu?” sahutku.
Bulan lalu, istriku rela membeli peralatan kue hingga belajar membuat kue dari YouTube. Ia yang tak pandai membuat kue berusaha mencari resep sampai bertanya di tetangga. Aku tahu betul perjuangan Marta yang meminjam uang di koperasi. Sepulang dari koperasi, ia antusias mengajakku ke pasar untuk membeli oven dan peralatan lainnya. Ia berpikir anak-anak kami mengikuti selera makan di kota, mereka pasti hanya mau makan roti atau kue, sedangkan yang kami punya hanya ubi dan jagung. Setelah kerap kali gagal, istriku bisa membuat kue. Ia sangat senang hingga menyuruhku untuk mencicipinya. Ia tak sabar menunggu anak-anak pulang dan mencicipi kue buatannya ditemani kopi dan lagu Natal.
Di atas meja kayu tua yang penuh kenangan, Marta meletakkan kue-kue buatannya dengan wajah yang diliputi kecewa yang tak terucap. Dari kejauhan, denting musik Natal mengalun dari rumah tetangga, melukai sunyi yang menyelubungi malam. Aku hanya bisa berpaling, tak sanggup menatap matanya yang basah oleh kesedihan.
Lonceng gereja berdentang memecah dinginnya malam, menyerukan umat untuk segera ke gereja. Orang-orang bergegas dalam balutan pakaian baju warna-warni, sepatu yang mengkilap, dan rambut yang ditarik lurus untuk menyambut hari kelahiran Sang Juru Selamat, pembawa terang dan damai yang ditunggu-tunggu. Namun, di sudut hatiku, aku hanya mengatur satu doa sederhana agar anak-anakku segera pulang. Aku membayangkan kami duduk bersama di meja tua, berbagi tawa dan kehangatan dari masakan Marta seperti yang kami lakukan dulu. Aku selalu percaya, terang Natal akan menyatukan kami.
Selepas berdoa yang penuh bisik dan harap di gereja, aku dan Marta melangkah pulang dalam senyap yang pekat. Malam Natal yang dingin semakin hampa, terlukis dari tatapan tetangga yang singgah pada kami. Pertanyaan mereka menggema tentang kabar hingga kapan mereka pulang yang semakin mengiris hati yang rapuh oleh rindu.
Ketika tiba di rumah, kami duduk di ruang makan sederhana. Meja kayu tua yang sederhana menjadi saksi bisu dari makanan yang sedari tadi mengepul tanpa disantap. Kami tenggelam dalam tatapan kosong dan harapan yang sama.
Marta akhirnya bangkit, meninggalkanku sendiri di meja makan tanpa sepatah kata. Ia menghilang di balik pintu kamar. Malam semakin larut, aku tahu Marta tak benar-benar terlelap. Ketika aku mendekati pintu kamar, kulihat lilin menyala di depan patung Bunda Maria. Di sampingnya, secarik kertas lusuh oleh air mata tertulis, “Semoga anak-anakku selalu dalam lindungan Tuhan. Bunda Maria, kutitip Natal untuk anakku.”
Aku tahu Marta belum tidur, napasnya terdengar memburu, air matanya menyusuri pipi, mengairi rindunya yang tak pernah habis. Di tengah gelapnya malam, doanya membelah langit, membawa harapan pada Tuhan yang selalu mendengar. Lonceng gereja berdentang memecah dinginnya malam, menyerukan umat untuk segera ke gereja. Orang-orang bergegas dalam balutan pakaian baju warna-warni, sepatu yang mengkilap, dan rambut yang ditarik lurus untuk menyambut hari kelahiran Sang Juru Selamat, pembawa terang dan damai yang ditunggu-tunggu. Namun, disudut hatiku, aku hanya mengatur satu doa sederhana agar anak-anakku segera pulang. Aku membayangkan kami duduk bersama di meja tua, berbagi tawa dan kehangatan dari masakan Marta seperti yang kami lakukan dulu. Aku selalu percaya, terang Natal akan menyatukan kami.
Selepas berdoa yang penuh bisik dan harap di gereja, aku dan Marta melangkah pulang dalam senyap yang pekat. Malam Natal yang dingin semakin hampa, terlukis dari tatapan tetangga yang singgah pada kami. Pertanyaan mereka menggema tentang kabar hingga kapan mereka pulang yang semakin mengiris hati yang rapuh oleh rindu. Ketika tiba di rumah, kami duduk di ruang makan sederhana. Meja kayu tua yang sederhana menjadi saksi bisu dari makanan yang sedari tadi mengepul tanpa disantap. Kami tenggelam dalam tatapan kosong dan harapan yang sama.
Marta akhirnya bangkit, meninggalkanku sendiri di meja makan tanpa sepatah kata. Ia menghilang di balik pintu kamar. Malam semakin larut, aku tahu Marta tak benar-benar terlelap. Ketika aku mendekati pintu kamar, kulihat lilin menyala di depan patung Bunda Maria. Di sampingnya, secarik kertas lusuh oleh air mata tertulis “Semoga anak-anakku selalu dalam lindungan Tuhan. Bunda Maria, kutitip Natal untuk anakku.” Aku tahu Marta belum tidur, nafasnya terdengar memburu, air matanya menyusuri pipi mengairi rindunya yang tak pernah habis. Di tengah gelapnya malam, doanya membelah langit, membawa harapan pada Tuhan yang selalu mendengar.