Cerpen: Payung Doa - Gonsa Thundang
Desember membawa hujan tanpa henti dan pagi itu tidak terkecuali. Aku berjalan tergesa-gesa di bawah gerimis. Payung kecil di tanganku tak mampu sepenuhnya melindungi tubuh dari basah. Jalanan licin, aroma tanah basah bercampur genangan air mengisi udara. Aku memacu langkah menuju gereja, berpacu dengan waktu yang terasa tak berpihak.
Setibanya di teras gereja, napasku terengah. Kulihat beberapa orang berdiri di sana, berkerumun sambil menunggu teman atau keluarga. Pakaian mereka kering, kontras dengan diriku yang kuyup. Beberapa di antaranya melirikku sekilas, tetapi aku memilih tak peduli. Dengan cepat, aku masuk ke dalam gereja dan mencari tempat duduk di bagian barat, tempat favoritku yang biasanya sepi.
Namun, pagi itu, bangku yang biasanya kosong sudah ditempati. Di ujung barisan, seorang gadis kecil duduk dengan tenang. Ia mengenakan gaun putih sederhana yang bersih, rambutnya yang panjang tergerai rapi. Wajahnya tidak menunjukkan rasa bosan seperti kebanyakan anak seusianya. Dia hanya diam, menatap altar dengan serius.
Aku memilih duduk di ujung lainnya, meninggalkan satu kursi kosong di antara kami. Sebisa mungkin, aku tidak mengganggu konsentrasinya. Namun, tanpa sadar aku terus mencuri pandang. Ada sesuatu yang membuatku penasaran—caranya duduk, ekspresi wajahnya, bahkan kehadirannya yang begitu tenang di tengah kekhusyukan misa.
Pastor memulai misa dengan suara lembut yang memenuhi ruangan. Ia berbicara tentang masa Adven, sebuah waktu penantian penuh harapan. Namun, pikiranku sulit fokus. Tahun ini penuh dengan masalah: pekerjaan yang tak menentu, hubungan dengan keluargaku yang kian renggang, dan kekosongan yang seolah menekan hatiku setiap saat. Aku datang ke misa ini bukan hanya karena rutinitas, tetapi karena aku ingin mencari sesuatu—mungkin jawaban, mungkin ketenangan.
“Kenapa Bapak sedih?”
Suara kecil itu mengejutkanku. Aku menoleh dan melihat seorang gadis kecil menatapku dengan mata jernih.
“Sedih?” tanyaku bingung.
“Iya, Bapak kelihatan sedih sejak tadi,” katanya pelan sambil menunduk.
Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan. “Mungkin karena terlalu banyak yang dipikirkan.”
Dia mengangguk perlahan. “Kalau begitu, Bapak harus lebih banyak berdoa. Kata Mama, doa bisa membuat hati lebih ringan.”
Aku terdiam. Kata-katanya sederhana, tapi begitu dalam. Saat itu, mataku tertuju pada lilin Adven yang menyala di dekat kami.
“Lilin itu indah, ya?” ujarku, mencoba mengubah suasana.
“Iya,” jawabnya sambil tersenyum kecil. “Mama bilang lilin Adven ini melambangkan harapan. Kalau kita sedang sedih, lilin ini mengingatkan kita untuk tetap percaya kalau Tuhan pasti akan membantu.”
Aku mengangguk pelan, merasa tersentuh. “Harapan, ya... Kadang Bapak merasa doa Bapak tidak dijawab.”
Dia mengerutkan keningnya, berpikir sejenak, lalu tersenyum lagi. “Kata Mama, doa itu seperti siaran TV, Bapak.”
Aku memiringkan kepala, penasaran. “Siaran TV?”
“Iya. Tuhan itu seperti stasiun TV yang siarannya jernih. Masalahnya kadang bukan pada siaran-Nya, tapi pada antena kita,” katanya sambil menunjuk ke atas. “Kalau antenanya rusak atau arahnya salah, siarannya jadi buram. Sama seperti doa kita. Mungkin bukan Tuhan yang tidak menjawab, tetapi hati kita yang kurang benar menangkap jawaban-Nya.”
Aku tertegun, merenungi kata-katanya. “Jadi, Bapak harus memperbaiki ‘antena’ Bapak, ya?”
Dia mengangguk ceria. “Iya, Bapak. Doa, harapan, dan percaya itu caranya.”
Aku tersenyum lebih lebar dari sebelumnya, memandang lilin Adven yang terus menyala. “Terima kasih, Lia. Bapak akan mencoba memperbaiki antena itu.”
Dia tersenyum puas. “Sama-sama, Bapak. Jangan lupa, Tuhan selalu dekat kok.”
Percakapan kami terhenti ketika pastor melanjutkan khotbahnya. Kali ini aku memaksa diriku untuk mendengarkan, tetapi ucapan gadis kecil itu terus terngiang di pikiranku.
Setelah misa selesai, aku menoleh untuk berbicara lagi dengannya. Namun, Lia sudah tidak ada di tempatnya. Aku mencari ke sekitar gereja, tetapi dia menghilang di antara kerumunan umat.
Di luar, hujan masih turun. Aku berdiri di bawah atap teras, memandang ke arah jalan. Ke mana perginya Lia? Apakah dia pulang sendirian?
Saat aku hendak melangkah pergi, mataku tertuju pada sesuatu di sudut teras. Sebuah payung kecil berwarna putih tergeletak di sana. Aku mengambilnya. Payung itu sederhana, tapi terlihat bersih dan rapi, mengingatkanku pada Lia.
Di sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan pertemuan singkat itu. Ada sesuatu yang aneh, seolah Lia hadir bukan secara kebetulan. Kata-katanya, sikapnya, bahkan kehadirannya membuatku merenung.
Seminggu kemudian, aku kembali ke gereja. Desember hampir berakhir, dan Natal sudah di depan mata. Di tengah keramaian jemaat yang memenuhi bangku-bangku gereja, mataku mencari-cari sosok Lia. Tetapi, dia tidak ada di sana.
Setelah misa selesai, aku mendekati pastor yang hendak keluar dari sakristi gereja.
“Pastor, bisa saya minta waktunya sebentar? Saya ingin bertanya,” kataku. “Apakah Anda tahu seorang gadis kecil bernama Lia? Minggu lalu, dia duduk di bagian barat gereja.”
Ia mengernyit, tampak berpikir. “Lia?” tanyanya. “Saya tidak ingat ada umat anak kecil dengan nama itu. Tetapi, gereja ini sering didatangi banyak orang. Mungkin dia pengunjung.”
Aku terdiam, sedikit kecewa. Namun, saat aku hendak pergi, pastor menambahkan, “Tunggu, apakah dia menyebut dirinya Maria?”
“Iya,” jawabku cepat. “Kenapa, Romo?”
Romo terdiam sejenak, lalu berkata pelan, “Beberapa tahun lalu, ada seorang anak kecil bernama Maria Lia, salah satu putri altar di sini. Dia sangat aktif, tetapi meninggal karena sakit. Lilin Adven adalah favoritnya. Dia selalu berkata, lilin itu mengingatkan kita untuk tidak pernah kehilangan harapan.”
Darahku berdesir. Aku memandang ke arah altar, tempat lilin Adven menyala. Ingatanku melayang ke senyum hangat dan suara lembut gadis kecil itu. Apakah mungkin...?
Aku melangkah keluar gereja, membawa sesuatu yang lebih dari sekadar pertanyaan: harapan yang telah ia nyalakan kembali dalam hatiku.
Oleh: Gonsa Thundang