Cerpen: Salam, Sabin - Sindiana Janggu
Sabin, sebutan dari setiap orang untuk namaku. Nama asliku Sabania, tetapi menurut warga di sini nama itu terlalu sulit diucapkan. Saat ini, aku adalah seorang ibu yang memiliki satu orang putra bernama Fino, yang sekarang merupakan pastor di tanah seberang. Sebenarnya jumlah anakku ada tiga, tetapi karena kedua saudaranya sudah mendahului kami, akhirnya di dunia ini aku hanya memiliki satu anak yang mesti kuperjuangkan kehidupannya. Nama kedua saudara Fino yaitu Hendrik dan Yosan. Setelah kehilangan kedua anakku, akankah aku berhak bahagia?
Saat ini, aku berdiri dengan memegang tiga karangan bunga matahari, yang disiapkan untuk diberikan kepada suami, Hendrik, dan Yosan. Kulihat di sekitar makam mereka sudah ditumbuhi sedikit tumbuhan liar, karena satu bulan belakangan aku belum sempat datang mengunjungi pemakaman ini. Hal tersebut tidak disengaja, melainkan aku masih dalam tahap memikirkan kehidupanku, yang akhir-akhir ini dilalui bersama temanku, Ridus. Selain itu, aku merasa beban dan malu pada mereka. Sekalipun mereka telah tiada di kehidupan ini, aku masih merasakan kehadiran mereka di setiap perjalanan hidupku. Satu bulan merupakan waktu yang tepat menurutku untuk merenungkan nasibku. Namun, setelah satu bulan berjalan, aku tidak bisa menemukan jawaban atas pertanyaanku saat ini. Akhirnya, aku memutuskan datang ke makam mereka, sekadar mengunjungi dan berdoa bagi keselamatan mereka. Barangkali, dengan mengunjungi mereka, aku mampu menemukan solusi atas dilemaku, antara kehilangan, penyembuhan, dan kebahagiaan yang layak dipertanyakan.
Hendrik merupakan anak sulung. Dia anak yang bertanggung jawab. Dia jarang bermain dengan adik-adiknya yang kecil. Mungkin karena umur mereka yang tergolong jauh dengan adik-adiknya, tetapi aku tahu, dia memiliki rasa sayang begitu besar terhadapku dan adik-adiknya. Setelah itu ada Yosan. Yosan merupakan anak yang periang, lucu dan terkadang suka menjahili Fino. Tetapi di balik sifatnya tersebut, dia sangat terampil dengan pekerjaannya, dan sangat menyayangi saudara-saudaranya. Terakhir bernama Fino yang sekarang sedang duduk di bangku SD. Dia anak yang rajin, dan pintar di sekolahnya. Dia rajin belajar, sehingga tidak salah jika dia selalu mendapatkan rangking di sekolah. Aku bersyukur, anak-anakku ini sangat damai di balik pertengkaran-pertengkaran kecil mereka. Mereka damai dengan kerukunan, jahil, dengan ciri khas mereka masing-masing. Sekalipun jarang bermain bersama, momen makan bersama di pagi, siang dan malam hari, serta doa bersama di malam hari merupakan momen yang sangat aku syukuri. Kami dapat saling menukar pikiran dan bercanda bersama.
Saat ini, aku hendak memberi makan siang anak-anakku. Mereka duduk di tenda, tempat kami sering berkumpul. Sambil menunggu aku mengambil nasi di tungku, Yosan menyiapkan piring, hidangan sayur dan ikan. Aku melihat Hendrik duduk tertunduk. Sebagai anak sulung, aku tahu perasaannya, bagaimana rasa ingin membantu dan rasa tanggung jawab yang besar. “Apa yang sedang kau pikirkan, Hendrik?” tanyaku. Di sampingnya Fino sedang bermain karet. Karet tersebut didapatkan dari permainan pagi ini bersama teman-teman kecilnya. “Entahlah Ibu, aku rasa aku tidak bisa menempuh sekolah di biara, selain karena aku tidak yakin, aku juga memikirkan ibu dan adik-adikku. Bagaimana bisa aku disekolahkan di seminari, sedangkan ibu dan mereka sendirian”, kata Hendrik. Kulihat dari matanya, bingung, kerinduan, kekecewaan, dan harapan digabungkan menjadi satu. “Nak, kau tak usah terlalu khawatir akan kehidupan ibu dan adik-adikmu, kami akan baik-baik saja. Bukankah kau tahu sendiri bagaimana pesan Ander, ayah kalian saat itu?” Hendrik tersenyum. “Tapi Bu, setelah aku pikirkan kembali, sepertinya aku tidak bisa. Menurutku, jika suatu saat ada yang ditakdirkan menjadi pastor, aku rasa bukan aku. Ibu lihat, ibu masih memiliki dua anak laki-laki yang lain, Yosan dan Fino. Jika aku tidak ditakdirkan, bisa saja ada di antara keduanya, tetapi kalau tidak, aku rasa hal tersebut tidak bisa dipaksakan”. Hendrik mencoba memberi penjelasan “Tapi percayalah, Ibu” lanjutnya dengan senyum penuh keyakinan “semesta tidak akan salah melibatkan kebaikan untuk keluarga ini, dan kita akan baik-baik saja”. Hendrik dengan umurnya yang masih remaja, sudah dibekali dengan kedewasaan seperti ini. Siang itu, kami makan dengan damai. Disuguhi kelucuan Yosan, yang tidak pernah berhenti menjahili Fino. Damai, sangat damai. Ya, Hendrik benar, semuanya akan baik-baik saja.
Kata orang hidupku sungguh menyedihkan, karena suamiku yang sudah meninggal, sedang aku harus mengurus anak-anakku seorang diri. Namun aku tidak merasa demikian. Ketiga anak yang datang ke dunia merupakan hadiah terindah yang pernah aku dapatkan. Aku sangat merasa kehilangan, tetapi aku adalah tumpuan dari ketiga anakku. Bagaimana bisa tumpuan itu lemah? Sehingga kuputuskan kepedihan ini kutanggung sendiri. Hidup sederhana seperti ini, di desa Kuwan sudah cukup untukku, asalkan anak-anakku dapat merasakan kasih yang sungguh dari diriku. Setelah Ander meninggal, aku memutuskan bekerja sebagai petani. Aku bekerja semampuku. Menjual daganganku, bekerja di kebun, dan lain sebagainya, asalkan pekerjaan itu benar dan halal di mata hukum dan agama.
Jika dikatakan aku langsung mengeluh dengan kehidupanku, aku tak tahu sebab masih banyak hal yang harus aku kerjakan di dunia dan hidupku. Anak sulungku Hendrik, saat ini menempuh sekolahnya di SMA. Dia berencana untuk masuk di seminari, sebagai bekal pesan dari ayah mereka. Namun akhir-akhir ini, saat aku lihat perkembangannya, aku tidak yakin. Akankah dia yang menjadi pekerja di ladang-Nya, seperti pesan Ander suamiku sebelum dia menghembuskan nafas terakhirnya, “Di antara ketiga anak laki-laki kita, ingin sekali rasanya satu yang menjadi pastor” katanya. Aku tidak yakin saat itu, karena selain merasa pedih karena pesan terakhir, aku juga merasa tidak mampu menyekolahkan mereka. Bagaimana caranya? Tanyaku dalam hati. Setelah mengalami sakit parah, aku mesti kehilangan suamiku. Dia meninggalkanku dan anak-anaknya yang belum mampu menghidupkan diri sendiri. Apakah aku sanggup membiayai kehidupan mereka? Akankah?
Hari berganti hari, tahun pun berganti. Tak terasa, anak-anakku sudah tumbuh besar dan dewasa. Dengan jalan kehidupan masing-masing, mereka menempuh perjalanan mereka. Hendrik memutuskan mengambil kuliah dengan jurusannya sebagai guru. Aku menyekolahkannya dengan warisan yang sudah dititipkan Ander, kala dia masih hidup. Yosan, hanya melanjutkan sekolahnya sampai SMA. Barangkali dirinya mengerti kemampuan dan perjuanganku untuk menyelesaikan sekolah Hendrik. Sebenarnya aku tidak keberatan menyekolahkannya juga, karena aku tahu Hendrik pun akan turut serta membantu. Namun entah mengapa, Yosan memilih untuk bekerja saja setelah lulus sekolah menengah..
Hendrik selesai dengan sekolahnya sebagai guru. Dia memutuskan bekerja di desa Rutan, yang tidak jauh dari kampung ini. Yosan dengan keberaniannya, memilih ke luar negeri untuk bekerja. Mereka dipisahkan oleh pekerjaan, hidup, dan kota yang berbeda. Di rumah hanya tersisa aku dan Fino. Fino saat ini duduk di bangku akhir SMA. Kesepian? Tentu. Aku sangat kesepian. Mereka sudah dewasa, sebagai ibu aku sangat terharu dan sedih. Canda tawa yang sering dilakukan setiap hari, kini sangat sunyi. Di tenda, hanya ada dua piring. Aku dan Fino tentunya mencoba menghilangkan kesepian itu dengan selalu menceritakan keseharian kami.
Hari ini hari Minggu, setelah mengikuti Perayaan Ekaristi di gereja pagi tadi, kami berdua sarapan. Saat ini, aku sedang menyapu halaman. Setelah membantuku membersihkan rumah dan mencuci piring, serta menimba air, Fino melanjutkan pekerjaannya, barangkali belajar di kamarnya. Selesai menyapu halaman, aku masuk ke dalam rumah. Kudengar suara Fino berbicara. Aku penasaran apa yang sedang dilakukannya, serta sedang berbicara dengan siapa. Saat kulihat, ternyata dia sedang mempraktekkan tokoh sebagai seorang pastor, dengan mempraktikan tangannya yang memberkati sesuatu, layaknya seorang pastor. Aku tersenyum dan hampir tertawa melihatnya. Apakah dia benar-benar serius ingin sekolah di biara? Aku masih ingat saat dia kecil dia pernah berujar ingin menjadi pastor. Saat itu, kami masih mengikuti misa hari Minggu, Fino menyikutku, “Ibu, aku ingin menjadi sepertinya”, katanya sambil menunjuk ke arah pastor di depan altar. Aku hanya tersenyum kala itu. Namun, pagi ini aku melihat dia sedang mempraktekkan dirinya sebagai seorang pastor. Saat itu Fino melihatku, dan segera berhenti. “Ibu,” sapanya. Aku masuk ke kamarnya. “Nak, apakah kamu yakin?” tanyaku. Fino bingung dengan pertanyaanku. “maksud Ibu?” Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. “Nak, dahulu sebelum ayahmu meninggal, dia berpesan kepada Ibu, bolehkah di antara ketiga anakku, ada yang menjadi pastor? Saat itu harapan kami hanya pada kakakmu Hendrik. Hanya saja Hendrik tidak ingin bersekolah di biara” jelasku. Aku melanjutkan “Jika harapan ayahmu sungguh besar, dan jika semesta mengizinkan, apakah kamu yakin ingin menjadi seorang pastor?” Fino menggenggam tanganku. “Ibu, andaikan Ibu mampu menyekolahkanku, aku ingin sekali dan berniat menjadi pastor. Entah mengapa aku sangat ingin, dan merasa terpanggil,” jawabnya. Aku menggenggam tangannya erat. “Karena kedua kakakmu ingin bekerja, Ibu akan meminta bantuan kepada mereka, dan kepada Hendrik. Ibu juga akan bekerja semampu ibu dalam menyekolahkanmu, asalkan kamu benar-benar menginginkan jalan ini”. Fino tersenyum “Ya Ibu, aku janji”.
Waktu terus berjalan. Akhirnya di rumah ini hanya tersisa aku seorang. Fino melanjutkan sekolahnya di biara. Saat ini aku memiliki satu orang cucu, seorang putra dari Hendrik dan Nina, istrinya. Yosan di negeri orang masih nyaman dengan kesendiriannya. Aku sangat bahagia, karena sebentar lagi mereka semua akan datang berlibur. Kesendirianku akan dihibur dengan kedatangan mereka, anak mantu, dan cucuku.
Tibalah hari ini, hari kami berkumpul bersama. Sungguh bangga hati ini melihat kebahagiaan yang tercermin di wajah mereka. Keseharian kami sungguh dipenuhi dengan perasaan damai. Aku melihat anak-anakku sudah sangat dewasa, tetapi aku tetap melihat mereka seperti dulu, saat mereka masih kecil. Aku bangga, hanya perubahan fisik merekalah yang berubah, sedangkan kebaikan hati, kepedulian, dan tanggung jawab mereka tidak berubah. Keberlangsungan itu menurutku tidak bertahan lama, karena satu bulan berjalan sangat cepat. Mereka semua kembali ke tempat tugas, dan sekolah mereka. Aku kembali sendiri, sendirian, sambil bekerja. Saat ini, saat aku melihat diri di cermin, aku tidak sadar, ternyata selain mereka, aku pun terus bertumbuh, semakin berkembang, sehingga tak sadar jika saat ini kulit-kulitku keriput. Yah, ternyata waktu terus berjalan, dengan segala perasaan dan tindakan, membuat aku tumbuh dan berjalan sejauh ini. Oh ya, sekarang semestinya aku pergi membersihkan makam Ander, yang seminggu ini tidak sempat kubersihkan.
Sepulang dari gereja hari Minggu, saat ini aku berencana akan pergi mengunjungi Hendrik di rumahnya. Sekalian aku akan membawakan sebagian ubi dan jagung yang sudah direbus. Saat sedang bersiap-siap, aku mendengar suara Hendrik. Loh, kenapa dia ada di sini? Saat kulihat di belakangnya ada Nina, menantuku serta Jordan, cucuku. Ada apa mereka berada di sini? Kulihat ekspresi mereka tidak seceriah seperti biasanya. Aku tahu, tempat tinggal mereka saat ini tidak jauh dari desa ini. Namun tidak biasanya mereka datang secara serempak seperti ini. Hendrik biasanya datang ke sini saat akhir pekan. Sedangkan istri dan anaknya Jordan, sering datang mengunjungiku saat hari libur.
“Aku tidak menyangka, ternyata kalian sedang membuat kejutan sederhana untuk mengunjungi ibu. Padahal ubi dan jagung yang ibu rebus sudah Ibu siapkan untuk dibawa ke rumah kalian.” Ada apa ini, firasatku mengatakan ini tidak seperti biasanya. Karena melihat ekspresiku yang penuh tanda tanya, Hendrik membuka pembicaraan. “Ibu, apakah semalam Ibu tidur nyenyak?” Aku bingung. Memang semalam tidurku tidak nyenyak, aku pikir ini biasa karena maag yang aku derita sering membuatku kesulitan tidur. Tapi entah mengapa, setelah mendengar pertanyaan dari mereka, aku merasa ada yang tidak beres. “Tidur ibu kurang nyenyak. Tapi menurut Ibu ini karena kebiasaan makan Ibu yang akhir-akhir ini semakin tidak teratur” aku masih mencoba tersenyum. “Ibu” panggil Nina. Aku berbalik kepadanya. “Nina, tolong sampaikan apa yang sedang dan ingin kalian bicarakan. jangang membuat ibu bingung”. Kulihat, mata Jordan berkaca-kaca. Perasaanku semakin tidak karuan. “Ada apa? Bicara yang sejujurnya”. “Ibu, aku harap Ibu tidak kaget, aku harap Ibu kuat.” Kepalaku mulai pusing, apakah ini karena reaksi maag? Tanganku mulai gemetar. Perasaanku tidak karuan. Ada apa? Hendrik melanjutkan “Ibu, saat ini kami ingin datang memberi tahu Ibu kalau sekarang Yosan sedang sakit di luar negeri. Saat ini dia berada di rumah sakit, dan sakitnya lumayan parah.” jelasnya. Apakah aku salah dengar? Beberapa hari lalu Yosan baru saja menelponku melalui wartel di dekat rumah. Suaranya memang terdengar parau, tetapi katanya itu akibat kurang tidur. “Ada apa dengan suaramu itu, Yosan? Apakah kau sakit?” tanyaku kala itu. kudengar dia tertawa “Ibu, jangan khawatir. Aku di sini baik-baik saja. Ini akibat semalam kami berpesta, dan kami bernyanyi dengan gembira”. Apakah dia berbohong? Aku melihat anak, menantu, dan cucuku menatapku iba. Ternyata tak sadar aku mengeluarkan suara apa yang aku pikirkan. Seperti dentuman keras menghantam hatiku, aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. “Ibu, tenang. Saat ini aku membawa telepon. Ibu bisa bicara dengannya”. Aku tidak menghiraukan perkataan Hendrik. Yang ingin aku tanyakan sekarang adalah mengapa mereka tidak memberitahuku sejak awal? Aku adalah ibu Yosan, seharusnya aku yang tahu lebih dulu. Seperti mengetahui apa yang aku pikirkan, Nina menggenggam tanganku “Ibu, kami tidak memberi tahu Ibu terlebih dahulu karena dilarang oleh Yosan. Selain itu, kami tidak ingin Ibu khawatir sendirian di sini. Kami juga mengkhawatirkan Ibu…” “Seharusnya tidak begini caranya” sanggahku. Tak sadar, air mataku jatuh. Di mana Yosan, aku harus bicara dengannya. aku mau melihatnya sekarang. “Apakah sakitnya parah?” tanyaku pada mereka. Hendrik menjawab, “Ibu, Yosan membutuhkan doa Ibu”. Aku merasakan seluruh badanku gemetar. Perasaan ini hadir lagi. Saat Ander akan menghembuskan nafas terakhir. Ada apa ini? Mengapa harus terjadi padaku? Kedamaian saat mereka semua datang berlibur, apakah dia sengaja? Apakah Yosan sengaja hanya ingin menampakan wajahnya untuk terakhir kalinya? Saat itu, telepon tersambung, dan kudengar suara wanita di ujung sana, yang kutahu dari Nina bahwa wanita itu merupakan perawat. Handphone diberikan kepadaku. Kudengar suara Yosan memanggil Ibu. “Ya, Nak, ini Ibu”. “Ibu” panggilnya lagi. Suaranya seperti tak berdaya, parau dan tak bertenaga. “Anakku” paanggilku lagi. Aku gemetar, kepalaku sakit. Mengapa pagi yang damai ini dikagetkan dengan berita seperti ini. dan lagi kekecewaan dan amarah bercampur, mengapa tak ada yang memberi tahu aku, akan keadaan Yosan di sana? Sebagai ibu aku merasa gagal. Yosan, di tanah orang dia sendiri, sendirian mengurus dirinya. Aku menangis, Hendrik, istri, dan Jordan menangis, kudengar Yosan juga ikut menangis. “Ibu”, panggilnya. “Ya Nak, ini Ibu”. “Ibu maafkan aku, aku tidak akan sempat membahagiakan ibu dalam waktu yang lama, aku tidak bisa membantu saudara-saudaraku lebih lama, maafkan. Uang yang ibu minta untuk memperbaiki mesin jahit Ibu, sudah aku kirimkan minggu lalu, dan saat ini uang tersebut ada di Kak Hendrik. Maafkan aku, Ibu, karena tidak sempat melihat Ibu di saat-saat terakhir seperti ini. Maafkan aku, karena tidak memberi tahu dengan jujur apa yang terjadi padaku saat ini”. Dadaku sesak. Rasanya dunia ini sangat gelap. Kuat? Apa itu? perasaan ini hadir lagi. Apakah sekali lagi aku harus merasakan kehilangan? Nak, ini Ibu. “Ibu”, aku terus menangis, tidak bisa menjawab panggilannya itu. Anak-anakku memelukku. “ibu”, panggilnya lagi. “ibu” suara itu semakin kecil. “ibu”… “ibu”… “ibu”… semakin kecil. “Ibu, terima kasih” dan tidak ada suara lagi. Kulihat handphone itu diambil oleh Hendrik, dan berbicara dengan wanita di ujung sana, yang sepertinya seorang dokter atau perawat. Selesai bicara, Hendrik menutup telepon dan menangis dengan histeris, disusul oleh istri dan anaknya. Saat itu kudengar nada handphone berbunyi lagi, dan ternyata dari Fino. Dia berbicara sambil menangis bersama Hendrik. Bertepatan dengan itu kulihat para tetangga datang menghampiri kami. Saat ini, yang ada dalam pikiranku adalah mengapa? Di mana Yosan? Kepalaku semakin pusing, dadaku semakin sesak, dan terakhir kurasa semuanya gelap, disusul panggilan anak-anakku yang memanggil “Ibu” dan suara cucuku yang memanggil “nenek”. Aku tak bisa menjawab. Di mana putraku? Di mana Yosanku?
Di sinilah aku sekarang. Aku dan anak-anakku sekarang berdiri di dekat jenazah Yosan. Setelah melewati beberapa proses, akhirnya jenazah Yosan bisa sampai di rumahnya, di desa ini. Aku melihatnya secara langsung. Tertidur, tetapi tak ada sedikitpun tanda bahwa dia akan menghembuskan napasnya kembali. Seingatku saat ini aku sangat kacau! Air mataku tak ingin keluar, tetapi dadaku sesak dan sakit! Aku seperti bermimpi. Seingatku juga, aku selalu dipeluk oleh Hendrik. Namun saat ini aku hanya ingin dipeluk oleh Yosan. Mengapa dia pergi begitu cepat? O Tuhan, mengapa? Dia belum menemukan keluarganya, dia tidak menepati janjinya dahulu bahwa dia ingin hidup lebih lama dari ayahnya. Namun apa yang terjadi? Lagi-lagi aku mengalami kehilangan. Kehilangan yang tidak mampu kupenuhi rasa rindunya. Yosan, anakku, ini ibu, Nak. Aku memelukmu.
Beberapa tahun berlalu, akhirnya makam Yosan berada tepat di samping makam Ander. Aku kembali menjalankan aktivitasku sebagai seorang ibu. Saat ini, Fino sudah menjadi pastor, sedangkan Hendrik masih menjalani pekerjaannya sebagai guru. Mereka hidup dengan kehidupan mereka masing-masing. Aku tidak menuntut mereka untuk selalu berada di sisiku, karena aku tahu, mereka memiliki kesibukan mereka masing-masing. Namun kesibukan mereka tidak membuat mereka saling melupakan satu sama lain. Mereka masih saling menyayangi, membantu, dan memperhatikanku. Kasih tersebut semakin erat sejak Yosan meninggalkan kami. Kami sadar, tak ada yang tahu tentang apa yang akan terjadi. Sewaktu-waktu, di antara kami bisa kembali meninggalkan dunia, pada waktu yang tidak pernah disiapkan. Selain itu saat berlibur, Hendrik beserta Nina dan Jordan selalu datang mengunjungiku. Semua itu sudah membuatku sangat bersyukur, asalkan mereka tetap sehat.
Badanku mulai mudah lelah, barangkali ini karena umurku yang sudah bertambah. Setiap hari, aku tak pernah berhenti mendoakan kesehatan anak-anakku, juga keselamatan jiwa dari orang-orang kesayanganku. Namun akhir-akhir ini, aku harus bergelut dengan pikiran yang membuatku, takut, khawatir, dan menangis, hingga tak bisa tidur nyenyak. Hal itu karena Hendrik sering mengeluh jika mereka sedang tidak sehat. Aku mulai mengalami ketakutan setiap malam. Setiap hari aku harus menelpon, untuk menanyakan keadaan mereka. Hal itu semakin parah, saat kemarin aku menemani Hendrik memeriksa kesehatannya. Saat itu, Hendrik sangat ingin pergi ke dokter, ditemani olehku. “Ibu, setelah ini aku akan jarang meminta Ibu menemaniku. Namun hari ini, biarkan aku ditemani oleh Ibu, layaknya saat aku masih kecil.” Aku mengiyakan. Hingga saat ini, aku tidak mempercayai telingaku sendiri bahwa Hendrik mengidap penyakit, sama seperti ayahnya, yaitu hepatitis. Bedanya, dulu Ander mengalami hepatitis, disertai dengan penyakit diabetes dan ginjal. Mendengar ini, aku langsung menelpon Fino. Aku tidak sanggup jika Fino mesti mengalami hal serupa. Tuhan, mengapa sekali lagi, aku harus mengalami ini? mengapa hal tersebut mesti menimpah anak-anakku, mengapa tak kau berikan cobaan itu terhadapku? Umurku sudah cukup untuk berada di dunia. Sedang Hendrik masih memiliki putra yang masih membutuhkannya. Tiba-tiba ponsel di genggamanku berbunyi, ternyata dari Fino. “Ya, Putraku.” Aku sadar, suaraku terdengar sangat khawatir, akan hasil pemeriksaan Fino yang langsung dilakukan setelah aku memintanya kemarin. “Ibu” panggilnya. Tak sadar, aku mengeluarkan air mata. Aku tidak tahan. Mengapa hal ini mesti terjadi pada anak-anakku? Lagi-lagi aku bertanya. “Ibu, kemarin aku telah melakukan pemeriksaan.” Ujar Fino. Aku lega, tetapi tidak sanggup mendengar hasil yang akan diungkapkan nya. “Lalu bagaimana hasilnya?” sekali lagi, aku mencoba menguatkan diriku untuk menerima hasilnya. “Puji Tuhan, aku bersih dari penyakit yang ibu takutkan. Aku tidak menerima penyakit hepatitis tersebut.” Aku menangis sejadi-jadinya. Begitu besar rasa takutku terhadap kehilangan yang pernah kudapatkan. “Aku bersyukur sekali, Nak. Ibu harap, kau jangan sakit, biarkan kau sehat di kota tersebut. Ingat, kau seorang pastor, sangat banyak umat di luar sana yang membutuhkan pelayananmu.” Setelah banyak perbincangan yang ku lewatkan bersama Fino, akhirnya telepon ditutup, dan aku kembali merenung. Di satu sisi aku lega karena Fino sehat dan bersih dari sakit penyakit, di sisi lain, aku khawatir dan takut pada penyakit yang saat ini dialami oleh Hendrik.
Setelah melewati beberapa tahun, aku memiliki rutinitas baru, yaitu setiap bulan menyempatkan diri untuk datang ke pemakaman Ander, Yosan, dan Hendrik. Ya… aku kembali kehilangan seorang anak yang bertanggung jawab, yaitu Hendrik. Setelah berusaha melawan penyakit yang diidapnya, lima tahun setelah Yosan meninggal, Hendrik kembali mendahului ibunya. Aku diam, tak bisa berkata-kata. Tak dapat ku gambarkan bagaimana rasanya saat aku harus bergulat dengan keadaan yang sangat aku takuti. Di hadapanku, mimpi buruk kembali menyerangku, serta Nina dan Jordan. Satu putra kehilangan ayahnya. Semua itu tak dapat ku gambarkan. Semuanya terlintas bagai mimpi yang tak ingin kuingat lagi, sehingga aku hanya perlu mengingat hari ini, bahwa saat ini aku berada di pemakaman mereka.
Aku ingin mengatakan dunia tidak adil. Mengapa yang menjadi milikku harus pergi, beranjak ke tempat yang tak dapat kujangkau rasa rindunya? Mengapa penyakit ganas tersebut harus menimpah anak-anakku? Namun setelah melewati beberapa fase kehilangan, aku mengerti dan paham, bahwa semua yang ada di dunia ini tak ada yang abadi. Lihat, aku memakai kata paham. Hal ini karena menurutku semua orang bisa tahu tentang kehilangan, tetapi tidak semua orang bisa paham makna kehilangan tersebut, sampai mereka mengalaminya sendiri. Saat ini, aku dengan segala cara yang kubuat untuk menjahit luka hatiku yang menganga. Tak ada yang abadi. Bagaimana caranya kalian tahu hidupku tanpa kalian? Ander… pria yang sangat kusayangi, dua anak kita sudah bersamamu di sana. Saat ini, dengan tegas kukatakan bahwa biarkan Fino anak yang saat ini bersamaku, jiwanya dikuatkan olehku. Jangan lagi kau umpan untuk mengikutimu. Aku tahu dan paham bahwa hidup ini sementara, dan ada saatnya aku, anak-anakku, cucu-cucuku, serta semua orang meninggalkan dunia ini. Namun bolehkah saat ini aku bersama Fino? Berikanlah dia umur panjang dan kesehatan. Terlalu banyak yang masih membutuhkannya di dunia ini. Doaku, hari ini.
Tahun silih berganti. Saat ini, Fino ditugaskan di luar kota. Luka di hatiku masih perlahan kujahit, dengan anggapan bahwa ketiga anakku masih hidup. Ya, untuk menghibur hatiku yang hancur, aku membayangkan bahwa Yosan masih bekerja di luar negeri, sedang Hendrik sedang bersama keluarga kecilnya. Hal ini terdengar aneh, tetapi bagiku, ini merupakan cara untuk mengobati rasa rinduku, untuk sedikit menghibur kehancuran yang tak dapat ku gambarkan. Kehancuran yang hanya diperuntukan untukku. Sebab ketika kubayangkan hari di mana mereka beranjak dari dunia ini, tanganku akan kembali bergetar, suaraku membisu, dan telingaku, hanya mendengar bising suara tangis dari orang banyak.
Akhirnya, aku kembali pada saat ini. Aku berdiri di pemakaman suami, dan kedua anakku. Sambil masih memegang tiga karangan bunga matahari, kulihat di sampingku, berdiri sosok seorang pria yang sangat baik, namanya Ridus. Dia memahami situasiku, sudah tiga tahun sejak kepergian anak-anakku, dia selalu datang kepadaku. Dia mencoba mendekatiku. Awalnya aku menolak, tetapi dia tetap kukuh untuk datang kepadaku. Semakin lama, aku merasa dia merupakan teman yang baik. Namun kau tahu, setelah kehilangan yang kulalui, aku bertanya-tanya, akankah dia bersamaku dalam waktu yang lama? Bagaimana jika luka yang sempat kututup, harus terbuka lagi karena aku mesti kehilangan teman sepertinya?
Bulan lalu, dengan segala keberaniannya, Ridus memutuskan untuk melamarku. Aku terduduk heran. Saat itu, aku tidak membayangkan dia akan memberanikan diri untuk melamarku, dengan segala latar belakangku. “Aku tahu, aku sangat tidak pantas mengatakan ini. Aku juga sadar, bahwa Ander merupakan sahabat baikku, akankah di atas sana dia menyetujui caraku ini, tetapi saat ini aku hanya ingin bersamamu.” Katanya saat itu. Namun aku yang saat itu masih tidak bisa berkata apa-apa, hanya diam sambil menatapnya dengan ekspresi yang tidak bisa kugambarkan. Ridus merupakan sahabat Ander yang sejak dulu tidak pernah menikah.
Setelah berdiskusi dengan Fino, melalui telepon, aku memutuskan untuk berpikir hingga saat ini. “Ibu, aku tahu kita terutama ibu, sangat mengalami kehilangan yang begitu berat. Namun ibu tahu, aku tidak bisa selalu bersama Ibu dengan tugasku sebagai pastor. Aku paham ibu sangat mencintai ayah. Namun aku yakin, ayah dan saudara-saudaraku tidak ingin ibu menangis sendirian. Di sana ibu sendiri, dan aku tak ingin terjadi sesuatu padamu, aku harap Ibu bisa memikirkan secara matang, karena aku hanya ingin yang terbaik untukmu.” Kata Fino, dengan suaranya yang menenangkan. “Aku harap, apapun pilihan Ibu, merupakan pilihan yang terbaik. Aku ingin Ibu bahagia”. Anakku, Fino yang saat ini merupakan pastor paroki di Kota Nuban, merupakan kebanggan bagiku, dan tentu saja bagi ayah dan saudara-saudaranya. Barangkali, kepergian mereka bukan sekadar tantangan bagiku, melainkan juga bagi Fino. Fino yang bercita-cita menjadi pastor, mesti kehilangan ayah dan saudara-saudaranya. Hal ini seperti ungkapannya saat Hendrik berpulang, Saat kau menginginkan sesuatu, kau juga harus berani kehilangan sesuatu yang lain. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Fino.
Aku kembali melihat Ridus di sampingku, yang saat ini sedang menatap ke depan, seperti memikirkan sesuatu. Dia menoleh ke arahku. Entah apa yang dia pikirkan. Dia seperti mencoba masuk ke dalam pikiranku, mencoba menenggelamkan dirinya pada sesuatu yang sedang kupikirkan. Namun melihat wajahnya yang teduh, aku bertanya-tanya, akankah aku bahagia, jika aku memilih menikah? Saat ini aku ikhlas dengan kepergian, suami dan anak-anakku. Akankah aku mengecewakan Ridus yang selama ini sangat tulus, jika aku menolaknya?
Setelah anggapan tentangku yang menyedihkan, sekarang anggapan orang-orang tentangku berubah menjadi wanita yang kuat. Di umurku yang tidak lagi muda, aku harus berperang dengan kehilangan berkali-kali lipat. Kehilangan suami dan kedua anak yang sangat kucintai melebihi dunia ini. Kekuatan demi kekuatan datang padaku setiap hari, saat kulihat Fino bahagia dengan pilihannya sebagai pastor walaupun aku tahu, dia juga mengalami kehilangan yang begitu besar. Namun kehilangan bukanlah akhir dari segalanya. Aku mesti melanjutkan kisahku beserta kehidupan duniawiku. Aku tidak tahu, apakah ada orang yang mengalami kehilangan sepertiku, masih berdiri kokoh, atau malah memilih untuk pergi mengikuti mereka yang telah pergi. Namun setelah memikirkan Fino, aku memilih bertahan. Walaupun dia sudah mampu menafkahi diri mereka sendiri, tetapi aku tahu, Fino masih membutuhkan sosok ibu. Dia masih membutuhkan aku dalam kehidupannya.
Aku kembali menatap ketiga makam ini. Mewakili Fino, aku ingin menyampaikan sampai jumpa di lain waktu, Ander, Hendrik, dan Yosan. Jagalah aku, dan Fino yang masih berkelana di dunia yang hiruk pikuk ini. Kita akan berjumpa lagi nanti. Kita akan kembali tertawa dan bercengkrama. Hingga saat itu, doakanlah kami, doakan aku, Sabina, Sabin, seorang wanita yang dianggap menyedihkan, lalu membuktikan bahwa dirinya kuat. Salam cinta dariku, Sabin. Di sampingku, Ridus masih menatapku, berdiri, sambil terus mencoba menebak isi pikiranku.
Penulis