Cerpen: Setelah Kepergianmu, Cerita Apa yang Harus Ditulis? - Safry Dosom

Setelah Kepergianmu, Cerita Apa yang Harus Ditulis?

Sejak pagi itu, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan lagi menulis tentangmu. Pada bagian kelima buku yang berjudul “Maria dan Segala Rahasianya” sama sekali belum ditulis. Satu kalimat pun belum dimulai pada bagian itu. Aku tidak tahu hal apa yang membuat aku malas untuk menulis seperti pada bagian-bagian sebelumnya. Jari-jari tanganku terasa kaku untuk menulis. Semua cerita tentangmu mungkin telah mati dan terkubur bersama tubuh itu.

Setiap hari aku selalu merayakan kesepian. Aku seperti seorang yang telah kehilangan arah. Ditempat mana aku harus melangkah? Di rumah mana aku harus pulang? Ini adalah beberapa pertanyaan yang seringkali muncul dalam kepalaku dan mungkin pertanyaan-pertanyaan ini yang membuat aku berhenti menulis tentangmu. Sebelum kepergianmu, aku selalu berjanji bahwa suatu saat nanti aku akan membaca kembali semua cerita yang telah ditulis dalam buku itu. Aku ingin melalui cerita itu, semua orang akan tahu tentang  sebuah perjuangan dan pengorbananmu.  Namun, sehari setelah acara perpisahan itu, aku memutuskan untuk tidak lagi menulis. Bagiku menulis tentangmu akan membuat aku hancur dan sulit untuk bangkit lagi.

***

Setelah semua situasi sulit telah aku lewati, pada suatu kesempatan aku mencoba mengingatmu dan akhirnya aku memilih untuk menulis kembali semua cerita tentangmu yang beberapa tahun terakhir tidak ditulis. Pada bagian kelima buku itu, aku ingin menulis cerita tentang kepergianku di pagi itu dan cerita setelah kepergianmu. Aku menyadari bahwa menulis tentang kepergianmu adalah hal yang sangat sulit bagiku. Namun, aku percaya bahwa dengan mengenang semua kisah tentangmu, aku akan mampu kembali menulis dan mengabadikannya dalam buku itu.

Januari 2022, hari-ke 4.

Tepat pada pukul 05:00, tiba-tiba Om Agnus mengetuk pintu kamar 03. Setelah pintu diketuk tiga kali, akhirnya dengan perasaan marah dan masih dicampuri rasa ngantuk, aku terpaksa bangun untuk membuka pintu. Tanpa banyak candaan seperti sebelumnya, Om Agnus memberikan HP samsung J2-nya itu kepadaku. Ia hanya memandangku dengan lekat. Dari matanya aku hanya menemukan ada rasa sedih yang melayang di sana. Aku semakin bingung melihat hal aneh di pagi itu.

“Kontak yang bernama Maria ingin berbicara denganmu!” beberapa menit kemudian Om Agnus memecahkan keheningan itu.

“Ada perlu apa?” dengan nada suara yang sedikit kesal aku menjawab Om Agnus.

“Saudaraku yang menelponku melalui nomor Ibu Maria!”

Aku serentak kaget. Aku merasa semua darah dalam tubuhku membeku dan jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu hal buruk telah menimpa ibu yang sudah seminggu terbaring di rumah sakit.

Dengan pelan aku mendekatkan  layar HP itu di telingaku. Di dalam hatiku terus berdoa agar dari layar HP itu aku akan mendengarkan lagu suara yang selalu menguatkanku selama ini. Namun, apa yang aku pikirkan sangat jauh berbeda dengan apa yang didengar. Aku hanya mendengar dengusan nafas yang tersengal-sengal menghirup oksigen. Tak ada kata-kata yang aku dengar di pagi itu. Ucapan selamat seperti sebelumnya sama sekali telah hilang. Air mataku jatuh tak terkendali. Kemudian aku pun serentak membisu.

“Minta maaflah kepada ibu atas semua kesalahanmu selama ini!” kata Mba Tuti saudari perempuanku yang sulung.

“Minta maaf buat apa?” jawabku dengan nada yang sedikit marah dan aku melanjutkan, “Jangan berpikir aneh-aneh!”

“Kau tidak akan menemukannya lagi setelah kau pulang!”

Mendengar kata-kata itu, suara tangisanku terus menjadi-jadi. Semua penghuni biara serentak kaget mendengar suara tangisan itu. Mereka semua berkumpul mengerumuni aku. Ada yang memeluk. Ada juga yang berusaha untuk menenangkanku. Aku seperti seorang yang sedang bermimpi di pagi itu. Aku sama sekali tidak bisa mengucapkan kata maaf sebelum jiwa ibu meninggalkan tubuhnya. selama ini aku terus berharap, berharap bahwa setelah aku pulang ibu sedang baik-baik saja.

Dalam perjalanan pulang, di dalam hatiku terus meminta pertanggung jawaban dari Tuhan. Mengapa Tuhan harus mengambilnya tanpa persetujuanku? Mengapa perpisahan itu terlalu cepat? Mengapa Tuhan tidak menjaga ibu yang setiap hari terus bekerja demi menghidupi kami? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang terus muncul dalam kepalaku di pagi itu.

Setelah menghabiskan waktu dua belas jam, akhirnya aku sampai di rumah. Sebelum memasuki  halaman rumah, dari jauh aku mendengarkan suara tangis yang terus menjadi-jadi. Aku menyadari sejak saat itu jiwa ibu benar-benar pergi meninggalkan tubuhnya.  Di depan pintu rumah, aku sama sekali tidak menemukan senyum yang selalu menanti ketika aku pulang. Aku hanya menemukan orang-orang yang sedang menangis dan mengucapkan kata maaf di samping tubuh itu. Saat itulah muncul rasa penyesalan dalam hatiku. Aku sama sekali tidak memeluk ibu yang terakhir kalinya. Mencium seperti sebelumnya.

Aku terus berteriak di samping peti itu. Aku ingin di manjakan lagi seperti sebelumnya. Dulu, jika aku menangis dan terus merajuk, ibu selalu menggendong dan memanjakanku Namun, saat itu aku merasa air mataku telah habis dan suara tangisanku telah menjadi serak, tetapi ibu benar-benar tidak peduli apa yang aku lakukan. Ia hanya terbaring kaku dan dibaluti kain putih. Aku menyadari bahwa tenaganya benar-benar habis saat melawan penyakit itu. Ia tidak sakit lagi. Hanya aku yang sebentar lagi akan menderita.

Maret 2022

Sepanjang Maret, aku selalu memikirkan perempuan itu. wajahnya yang sudah melekat dalam kepalaku membuatku sulit untuk melupakanmu. Semakin aku mencoba untuk melupakan, perempuan itu pun semakin terlintas dalam pikiranku. Sejak saat itu, aku menyadari bahwa malam adalah hal yang paling menakutkan. Jika malam tiba, aku terus berjaga dan masih dalam keadaan yang siap. Mataku tidak pernah tertutup. Setiap kali aku mencoba menutup mata, perempuan tua itu selalu terlintas di depanku. Ia selalu tersenyum saat mengunjungi aku.  Aku sama sekali tidak menyukainya. Ia hanya datang membuat malamku menjadi siang.

Aku menyadari ia tidak pernah meninggalkanku. Denyut nadinya pun selalu aku rasa dalam tubuhku. Setiap malam jika aku selalu membayangkan sesuatu yang membuat aku bahagia, perempuan itu selalu muncul. Ia sama sekali tidak menyukaiku ketika aku mulai memikirkan hal-hal yang lain dan berusaha untuk melupakanya. Ketika aku mencoba melupakannya, perempuan itu pun selalu datang dan ingin memburuhku.

Desember 2024

Setelah kepergianmu, aku menyadari bahwa kita (manusia) adalah orang-orang asing yang datang hanya sebentar. Membuat cerita lalu pergi. Membangun cinta dan berujung luka. Mungkin itu merupakan sebagian hal yang sering kita lakukan saat kita menjadi orang asing. Aku juga menyadari bahwa betapa rapuhnya manusia di hadapan kematian. Kematian seringkali membunuh semua harapan yang masih berjuang untuk tetap tumbuh.

Merayakan pesta Natal tahun ini tanpa kehadiranmu memang sangat sulit bagiku. Namun, aku tetap percaya, kelahiran Yesus sang juru selamat itu akan membuatmu dilahirkan kembali dengan jiwa yang tidak bernoda. Pada bagian terakhir buku itu aku menulisan, “Cara yang paling baik untuk melupakanmu dan menyembuhkan semua luka pada pagi itu adalah dengan cara mengikhlaskan. Meskipun hal itu sulit, aku tetap melakukanya. Aku berharap semua kenangan yang pernah kita bangun akan dilanjutkan kembali setelah jiwa kita menyatu dalam keabadian.”


Maumere, Desember 2024.

Tentang Penulis

Safry Dosom berasal dari Manggarai. Penulis sangat senang membaca dan menulis cerpen. Beberapa cerpennya telah dimuat di Kompas.id, Koran Tempo, Republika.id, dan beberapa media lokal lainnya.


Setelah Kepergianmu, Cerita Apa yang Harus Ditulis?




Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org