Cerpen: Tidak Mungkin Satu Jiwa Ada Dua Raga - Toni Gatul

Cerpen: Tidak Mungkin Satu Jiwa Ada Dua Raga - Toni Gatul

Sore itu tidak seperti biasanya. Senja pun redup dan tidak meninggalkan jejak keindahan. Aku duduk di depan teras kontrakan sambil menikmati secangkir air kenikmatan. Yah, tak lain adalah kopi. Udara sore membius tubuh yang penuh kehampaan, sedikit menyesakkan dada. Setelah sekian lama aku tak mengenal cinta, kini cinta hadir tetapi kembali redup, datang hanya untuk bertamu, persis seperti cuaca yang tidak menentu. Ternyata cinta itu penuh sandiwara.

Beberapa bulan lalu, aku mengenal dia, yang kebetulan temannya tetangga kontrakan denganku. Saat pertama wajahnya terpapar di beranda ponselku, muncullah niat untuk meminta kontaknya kepada temannya, yang kebetulan memposting foto di media sosial (story WA). Saat itulah sandiwara ini dimulai. Setelah kontaknya ada di ponselku, dari situlah kami mulai berinteraksi walaupun hanya lewat media. Hari berganti hari, keadaan pun semakin mendukung, hingga kami bertemu langsung di kontrakan temannya, yang adalah tetangga kontrakanku.

Hari itu, hari pertama aku bertatap langsung dengannya. Entahlah, perasaan apa yang kurasakan saat itu. Senyumannya mengundang seribu rinduku. Aku pun mengikuti suasana hari itu, di mana kami saling bercanda tawa bersama teman-temannya. Waktu tak terasa, dan sore pun tiba. Dia kembali ke kontrakannya. Sepulang itu, aku berusaha mendekatkan diri dengannya. Setiap saat, kami saling mengirim pesan yang diwarnai dengan bahasa cinta. Padahal belum ada apa-apa, hanya sebatas teman. Mungkin ini awal yang baik dalam sebuah hubungan?

Seiring berjalannya waktu, aku tak sanggup lagi menahan getaran rasa. Tepat pada hari Minggu, aku berencana mengajaknya jalan-jalan. Namun, keadaan tidak mendukung. Aku jatuh sakit saat pulang mengantar temanku ke kampungnya, yang kebetulan juga sedang sakit. Padahal hari itu aku ingin mengutarakan perasaanku secara langsung kepadanya. Sudahlah, mungkin belum saatnya. Namun, aku tak bisa menundanya lagi. Hingga malam tiba, aku memberanikan diri mengungkap perasaanku kepadanya, walaupun lewat chatting WhatsApp.

“Maaf, aku tak bisa menjawabnya sekarang. Beri aku waktu untuk menjawabnya. Aku yakin kamu paham,” sebuah kalimat muncul di beranda ponselku, saat aku sudah mengutarakan perasaan. Resah dan gelisah kurasakan saat itu. Hati kecilku berkata, mungkinkah dia sudah ada yang punya? Aku takut dia nantinya menerimaku hanya karena kasihan. Sudahlah, semua itu tidak bisa dipaksakan. Aku hanya berharap semoga dia memberikan jawaban yang pasti.

Dua hari telah berlalu, percakapan kami lewat chatting masih berlanjut. Aku mengirim sebuah lagu band untuk mengungkapkan rasa yang sudah tertanam. Harapannya, semoga dia mengerti isi lagunya.

Kebetulan hari itu, tepatnya hari Kamis, temannya, yang bertetangga denganku, mengajak pergi bertamu ke kontrakannya. Sebuah kesempatan yang mudah-mudahan membawa hubungan yang baik. Sesampainya di kontrakan, kami kembali berbincang, tak lain merujuk pada hubungan asmara. Temannya selalu memberikan ruang untuk kami dan seolah-olah memancing perbincangan seadanya, dari hati ke hati. Tak terasa, matahari pun berubah warna hingga jingga. Kami berpamitan dan bersiap untuk pulang bersama. Namun, temannya, yang dekat dengan kontrakanku, berubah rencana dan memaksaku tetap tinggal.

Tinggallah kami berdua di kamar kontrakannya, yang selalu mengundang rindu itu. Aku memberanikan diri memulai pembicaraan tentang perasaan yang semakin meronta-ronta di hati.

“Kamu sudah dengar kan lagu yang aku kirim semalam?” tanyaku.
“Oh iya, aku paham,” jawabnya dengan wajah sedikit menunduk.
“Terus??” lanjutku dengan nada ragu.
“Iya, sebenarnya aku juga suka sama kamu,” jawabnya dengan wajah sedikit mengangguk.

Kamar yang begitu indah menjadi saksi saat dua hati saling terbuka. Aku merasa bahagia, kebahagiaan yang sebelumnya tak pernah kurasakan. "Akhirnya aku menemukanmu," gumam batinku.

Dari situlah permulaan kami merajut asmara.

Hari-hari kami lewati dengan variasi cinta yang malamnya selalu terbayang kembali. Hingga satu minggu berlalu. Entah mengapa, sore itu mendung menggantung tanpa hujan. Namun, ia menyelimuti bumi, seakan membawa isyarat akan hadirnya badai. Bukan hujan yang turun, melainkan air mata lirih dari langit.

Rencana awal, malam Minggu itu, kami adakan acara makan bersama teman-teman. Namun, sekitar pukul 17.00, tiba-tiba ponselku berdering. Dia menelepon dengan suara yang sedikit menangis, membatalkan makan malam bersama, dan menyuruhku melupakan hubungan ini.

“Maafkan aku, aku salah, dan aku tidak bisa membahagiakanmu. Aku harap kamu bisa menemukan yang lebih baik dariku,” ucapnya.

Suara dalam ponsel itu langsung membunuh hati. “Ada apa sebenarnya? Mengapa tiba-tiba begini?” tanyaku panik.

Dia hanya mengulangi kata maaf. “Aku minta maaf. Kalau kita lanjut hubungan ini, kamu akan menyesal,” katanya sambil menangis sebelum menutup telepon.

Aku dihantui rasa penasaran bercampur panik karena keputusan mendadak itu. Karena tidak puas, aku langsung mengontak temannya untuk menanyakan hal tersebut. Namun, temannya juga tidak mengetahui apa yang terjadi.

Keesokan harinya, aku memberanikan diri meneleponnya dan kembali menanyakan apa yang terjadi. Akhirnya dia memberi tahu semuanya. Ternyata, pada saat aku menyatakan perasaan, dia masih punya pacar, hanya saja mereka menjalani hubungan jarak jauh (LDR).

Dia menjelaskannya sambil menangis, namun air mata tidak bisa membalikkan semuanya. Yang aku syukuri waktu itu, dia jujur dan mengatakan yang sebenarnya, meskipun sedikit mengkhianati cinta. Dia menjelaskan bahwa dia tidak mau aku tersiksa dengan perasaanku yang digantungkan ini.

"Aku minta maaf. Kenapa aku bisa mengenalmu, yang dalam waktu seminggu engkau sudah memberikan yang aku mau? Jujur, aku sangat menyesal, dan sekarang aku harus mengatakan yang sebenarnya. Karena aku tahu seperti apa dirimu. Selain dari apa yang aku lihat langsung, teman-temanmu juga menceritakan sifatmu yang sebenarnya.

"Kamu harus menemukan orang yang tepat, bukan seperti aku yang hanya pandai menghancurkan perasaan orang lain. Aku juga tahu, kamu baru kali ini menjalin asmara dalam sejarah hidupmu. Ada pun kamu mengenal cinta sebelumnya, tapi tidak sedalam ini. Aku bisa merasakan dari kepedulianmu terhadapku.

"Maafkan aku karena terlalu kepo dengan kisahmu dan menanyakannya ke teman-temanmu. Mendengar semua itu, aku sadar sudah saatnya aku harus jujur, mumpung hubungan kita baru satu minggu. Aku kira ini belum terlambat untuk keterbukaan ini. Sekali lagi, maafkan aku. Sebenarnya, aku sudah punya pacar saat aku menerima cintamu," katanya dengan suara yang seakan-akan membunuh hati.

Sudahlah, semuanya mungkin bisa diperjelaskan.

"Terima kasih, ya, atas keterbukaan ini. Aku memang membutuhkan kejujuranmu saat ini. Kamu pilih dia atau aku, karena sesungguhnya, dan sejujur-jujurnya, aku terlalu mencintaimu. Aku pun tidak merasa adil jika engkau membawa hati yang selama ini aku jaga, tetapi kau tidak ingin mengembalikannya lagi.

"Aku juga sadar. Saat ini, aku ikhlas, karena engkau mengenalnya sebelum mengenalku. Karena itu, aku mundur. Tidak mungkin satu jiwa ada dua raga," jelasku meskipun dengan nada yang penuh ketidakrelaan.

                                                                

Ditulis oleh Toni Gatul



 

Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org