Pendidikan: Antara Humanisasi dan Mesin Ekonomi
Oleh: Adriani Miming
Setiap tahun ribuan lulusan terjun ke dunia kerja, tapi apakah mereka benar-benar siap menjadi manusia merdeka atau hanya roda dalam mesin ekonomi?
Pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, kerap diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Kurikulum disesuaikan dengan tuntutan industri, sementara lembaga pendidikan berlomba-lomba menjalin kemitraan dengan perusahaan demi meningkatkan daya saing lulusan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) berdasarkan hasil survei Sakernas Agustus 2024, menunjukkan bahwa lulusan pendidikan vokasi memiliki tingkat kebekerjaan lebih tinggi selama periode 2022 sampai 2024 ini. Di sisi lain, fenomena ini memunculkan pertanyaan mendalam: apakah pendidikan hanya sebatas alat untuk memenuhi kebutuhan ekonomi?
Pernyataan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan itu membebaskan,” mengingatkan bahwa tujuan pendidikan sejatinya melampaui batas-batas industri. Pendidikan seharusnya tidak hanya mencetak pekerja, tetapi juga membentuk individu yang merdeka, berdaya pikir kritis, dan mampu mengubah struktur masyarakat yang tidak adil.
Pendidikan Humanis
Kemanusiaan dan pemanusiaan merupakan inti dari pendidikan humanis yang bertujuan membebaskan. Pendidikan humanis hadir sebagai respons terhadap sistem pendidikan yang selama ini cenderung membelenggu, dengan mengekang kebebasan berpikir kritis dan menundukkan kreativitas peserta didik sebagai individu yang otonom. Pola pendidikan seperti ini, pada akhirnya, berpotensi menimbulkan dehumanisasi. Dalam pandangan Paulo Freire, pendidikan yang humanis bertujuan untuk memenuhi hasrat dan keinginan peserta didik maupun guru dalam mencari ilmu pengetahuan, sekaligus mendorong terciptanya pengetahuan baru (Freire, 1972:190). Lebih dari itu, kesadaran manusia dibentuk melalui pendidikan dan aksi budaya yang membebaskan, sehingga mampu melahirkan proses pemanusiaan yang utuh dan bermakna.
Oleh karena itu, pendidikan tidak boleh terjebak dalam kerangka kapitalisme semata, yang sering kali memandang peserta didik sebagai komoditas atau alat untuk memenuhi kebutuhan pasar. Sebaliknya, pendidikan harus menjadi sarana pembebasan yang memberdayakan individu untuk hidup bermakna, mengembangkan potensi mereka secara utuh, dan berkontribusi pada dunia yang lebih baik.
Berkontribusi pada dunia itu harus mulai dari kesadaran-kesadaran individu yang kritis terhadap berbagai konflik sosial yang terjadi, mulai dari sengketa lahan, kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam, hingga tantangan demokrasi seperti pembungkaman kebebasan berpendapat. Respon daya kritis generasi muda, baik pelajar maupun mahasiswa, seringkali terlihat minim. Padahal, sejarah bangsa ini mencatat bahwa mahasiswa adalah motor utama perubahan sosial, seperti dalam gerakan reformasi 1998. Namun, hari ini, suara kritis mereka semakin jarang terdengar.
Pendidikan; Mesin Ekonomi
Dalam era globalisasi, pendidikan sering kali diposisikan sebagai mesin ekonomi yang bertujuan menghasilkan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan pasar. Pendidikan tidak lagi sekadar sarana untuk membangun karakter dan memperluas wawasan, tetapi telah bergeser menjadi alat produksi yang melayani tuntutan industri. Dengan pandangan ini, keberhasilan pendidikan diukur berdasarkan seberapa cepat lulusan dapat terserap oleh pasar tenaga kerja, bukan berdasarkan kontribusinya dalam membentuk individu yang kritis, kreatif, dan berintegritas. Pendekatan ini menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang nilainya ditentukan oleh relevansinya terhadap kebutuhan ekonomi. Kurikulum didesain untuk memenuhi target industri, sering kali mengorbankan aspek humanistik dan sosial dari proses belajar. Akibatnya, pendidikan lebih sering dipandang sebagai investasi ekonomi semata, bukan sebagai proses pemanusiaan manusia.
Salah satu penyebab utama dari fenomena ini adalah pergeseran fokus pendidikan yang terlalu mengutamakan vokasi dan target industri. Dengan orientasi yang dominan pada penyediaan tenaga kerja siap pakai, pendidikan seringkali mengabaikan pengembangan daya pikir kritis dan kepekaan terhadap masalah etika, sosial, serta lingkungan.
Efek pendidikan vokasi yang berorientasi industri akan mengalami berbagai dampak, pertama; pengabaian terhadap nilai humanistik dalam pendidikan. Kurikulum pendidikan vokasi lebih menekankan pada keterampilan teknis, misalnya coding, manajemen bisnis, atau desain produk daripada aspek-aspek humanistik seperti etika, filosofi, atau pemahaman tentang keadilan sosial. Akibatnya, pelajar cenderung menjadi teknokrat yang terampil tetapi kurang peka terhadap isu-isu di luar bidang keahlian mereka. Kedua; minimnya pemahaman tentang isu sosial dan lingkungan. Misalnya, dalam konflik seperti geotermal, pertambangan yang mengancam ruang hidup masyarakat, serta deforestasi untuk perkebunan sawit. Dalam konteks ini, keterlibatan mahasiswa dan pelajar dalam advokasi atau diskusi kritis sering kali terbatas. Bahkan, sebagian dari mereka justru menjadi pekerja atau menjalani magang di industri yang berpotensi merusak lingkungan.
Sebagai contoh, di PLTU Ulumbu, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, sejumlah mahasiswa dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang menjalani praktik lapangan atau magang di PLTP Ulumbu. Dalam laporan penelitian mereka, mahasiswa tersebut menyimpulkan bahwa PLTP Ulumbu tidak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan dan kesehatan. Kesimpulan ini diumumkan di tengah maraknya konflik geotermal Poco Leok, yang merupakan rencana perluasan dari PLTP Ulumbu Unit 5-6, dan mendapatkan penolakan luas dari masyarakat adat Poco Leok.
Fenomena ini tidak hanya menunjukkan kurangnya akses informasi yang memadai, tetapi juga mencerminkan lemahnya pendidikan moral dan sosial yang semestinya membangun empati, keberanian, serta kesadaran kritis untuk mempertanyakan dampak dari praktik-praktik industri yang mereka dukung.
Minimnya daya kritis generasi muda Indonesia dalam merespons konflik sosial dan lingkungan menunjukkan adanya kesenjangan antara praktik pendidikan saat ini dan tujuan pendidikan yaitu memanusiakan manusia. Seperti Paulo Freire katakan bahwa pendidikan sejati adalah proses humanisasi, yaitu membentuk manusia yang sadar akan kemanusiaannya dan mampu memahami serta mengubah dunia. Pendidikan yang terlalu berorientasi pada kebutuhan industri, sebagaimana banyak diterapkan dalam sistem vokasi, cenderung menciptakan individu yang teralienasi dari perannya sebagai agen perubahan sosial. Kurikulum pendidikan Indonesia yang menekankan keterampilan teknis tanpa mendorong daya pikir kritis menghambat pelajar dan mahasiswa untuk terlibat dalam isu-isu besar seperti konflik lingkungan dan konflik sosial lainnya.Ini bertentangan dengan visi pendidikan dalam UUD 1945 yang bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia berakhlak mulia. Pendidikan vokasi telah merebut kebebasan anak bangsa untuk merdeka secara pikiran. Sistem pendidikan yang hanya memenuhi tuntutan industri, akan menciptakan generasi penjilat ketek korporasi.
Untuk mengatasi masalah pendidikan yang terlalu berorientasi pada kebutuhan industri, diperlukan reformasi mendasar yang menempatkan nilai-nilai humanistik dan daya kritis sebagai inti dari proses belajar.
Pertama, kurikulum pendidikan harus didesain ulang untuk mencakup keseimbangan antara keterampilan teknis dan pengembangan pemikiran kritis, etika, serta kepekaan sosial. Misalnya, pelajaran tentang isu-isu lingkungan, hak asasi manusia, dan keadilan sosial dapat dimasukkan sebagai bagian wajib dalam kurikulum di setiap jenjang pendidikan.
Kedua, lembaga pendidikan perlu mendorong budaya diskusi dan refleksi kritis. Guru dan dosen harus diberi pelatihan untuk menjadi fasilitator yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan teknis, tetapi juga membangun kemampuan analitis dan empati peserta didik. Hal ini dapat dilakukan melalui metode pembelajaran partisipatif yang melibatkan peserta didik dalam studi kasus nyata, misalnya tentang konflik lingkungan atau isu sosial lainnya.
Ketiga, penting untuk memperkuat kolaborasi antara lembaga pendidikan dan masyarakat sipil, termasuk komunitas lokal dan organisasi non-pemerintah. Kolaborasi ini dapat membuka ruang bagi pelajar dan mahasiswa untuk terlibat langsung dalam advokasi atau inisiatif sosial, sehingga mereka memiliki kesempatan untuk mempraktikkan nilai-nilai humanistik dalam kehidupan nyata.
Keempat, pemerintah dan pemangku kebijakan perlu mengarahkan kebijakan pendidikan ke arah yang lebih inklusif dan berkeadilan. Anggaran pendidikan harus digunakan untuk mendukung program-program yang berfokus pada pengembangan karakter dan kesadaran kritis, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja. Selain itu, diperlukan evaluasi terhadap kemitraan pendidikan dengan industri untuk memastikan bahwa kolaborasi ini tidak mengabaikan nilai-nilai moral dan sosial.
Dengan langkah-langkah ini, pendidikan dapat kembali pada hakikatnya sebagai sarana pembebasan, membentuk individu yang tidak hanya terampil secara teknis tetapi juga memiliki keberanian moral untuk memperjuangkan keadilan sosial. Bukan sekadar alat untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme.
Kini saatnya kita bersama-sama merenungkan kembali tujuan pendidikan. Apakah kita ingin mencetak pekerja yang terampil tetapi tak berdaya dalam menghadapi ketidakadilan, ataukah membentuk manusia yang merdeka dan berani memperjuangkan keadilan? Mari kita dorong reformasi pendidikan yang tidak hanya berorientasi pada kebutuhan pasar, tetapi juga pada pembentukan karakter, moralitas, dan kesadaran kritis. Sebagaimana yang diajarkan oleh Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan sejati bukan tentang melahirkan pekerja, tetapi manusia yang utuh dan merdeka.”