Pentingnya Pembelajaran Seumur Hidup: Menjembatani Kesenjangan Generasi

Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Penulis

Dalam era yang terus berubah, pembelajaran seumur hidup bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Namun, di masyarakat kita, masih banyak orang tua yang terjebak dalam pola pikir lama. Mereka merasa bahwa pengalaman hidup mereka sudah cukup untuk memahami dunia, tanpa menyadari bahwa tantangan yang dihadapi generasi muda saat ini jauh berbeda dengan yang mereka alami dahulu.

Misalnya, banyak orang tua masih berpegang teguh pada gagasan bahwa pendidikan formal adalah satu-satunya jalan menuju kesuksesan. Mereka sering kali memaksakan anak-anak mereka untuk mengejar profesi tertentu, seperti dokter, insinyur, atau pegawai negeri sipil (PNS), karena menganggap profesi tersebut sebagai simbol keberhasilan. Padahal, di era digital ini, banyak profesi baru, seperti pembuat konten (content creator), pengembang gim (game developer), atau ilmuwan data (data scientist), yang memiliki prospek cerah dan bahkan lebih relevan dengan kebutuhan zaman (Schwab, 2016).

Menurut penelitian dari McKinsey & Company, 60% pekerjaan yang ada saat ini akan tergantikan oleh otomatisasi dalam beberapa dekade mendatang (Manyika et al., 2017). Dengan kata lain, pola pikir yang mengutamakan pekerjaan "aman" tanpa mempertimbangkan perubahan teknologi justru dapat merugikan anak-anak di masa depan.

Ketidakpahaman yang Meresahkan Generasi Muda

Salah satu contoh nyata dari pola pikir usang ini adalah orang tua yang masih menganggap bahwa bermain gim adalah aktivitas yang membuang waktu. Banyak anak muda yang memiliki bakat di bidang e-sports atau pengembangan gim harus berjuang melawan stigma negatif dari orang tua mereka. Padahal, industri ini bernilai miliaran dolar dan membuka banyak peluang karier baru (Newzoo, 2022).

Hal lain yang sering menjadi keluhan anak muda adalah kurangnya pemahaman orang tua tentang pentingnya kesehatan mental. Banyak orang tua yang masih menganggap depresi atau kecemasan sebagai bentuk kelemahan atau sesuatu yang "tidak nyata." Mereka cenderung menyepelekan kebutuhan anak untuk berbicara dengan psikolog atau mencari bantuan profesional.

Menurut laporan dari World Health Organization (WHO, 2021), prevalensi gangguan kesehatan mental di kalangan remaja dan dewasa muda meningkat drastis, sebagian besar dipicu oleh tekanan sosial, ekspektasi tinggi, dan kurangnya dukungan emosional dari keluarga. Ketidakpahaman ini sering kali membuat anak muda merasa sendirian dan tidak didukung oleh orang yang seharusnya menjadi tempat mereka bersandar.

Mengapa Orang Tua Perlu Belajar?

Pembelajaran seumur hidup adalah cara untuk menjembatani kesenjangan generasi ini. Dengan membuka diri terhadap pengetahuan baru, orang tua tidak hanya memperluas wawasan mereka, tetapi juga meningkatkan hubungan dengan anak-anak mereka.

Misalnya, seorang ibu yang dulunya menganggap media sosial sebagai gangguan mungkin berubah pandangan setelah mengikuti pelatihan pemasaran digital. Ia mulai memahami bagaimana anaknya memanfaatkan media sosial untuk membangun bisnis kecil-kecilan. Dengan cara ini, ibu tersebut tidak hanya mendukung anaknya, tetapi juga memperluas peluangnya sendiri untuk berkontribusi secara finansial.

Sebuah studi dari Pew Research Center (Vogels et al., 2021) menunjukkan bahwa orang tua yang aktif belajar teknologi baru cenderung memiliki hubungan yang lebih baik dengan anak-anak mereka. Mereka bisa memahami dunia anak-anak mereka, mendukung minat mereka, dan bahkan membantu mengarahkan mereka ke jalur yang lebih produktif.

Contoh Pola Pikir Lama yang Perlu Diubah

Pertama, “Pekerjaan harus tetap, biar aman.” Banyak orang tua masih menganggap pekerjaan tetap sebagai satu-satunya bentuk keamanan. Padahal, generasi muda saat ini lebih tertarik pada pekerjaan yang fleksibel dan berbasis proyek, yang memungkinkan mereka mengejar passion tanpa terikat oleh jam kerja kaku (Florida, 2002). Kedua, “Anak laki-laki harus tangguh, jangan cengeng.” Stigma ini membuat banyak anak laki-laki menekan emosi mereka, yang kemudian berujung pada masalah kesehatan mental. Orang tua perlu memahami bahwa menunjukkan emosi bukanlah tanda kelemahan, melainkan cara untuk menjaga kesehatan jiwa (Levant & Wong, 2017). Ketiga, “Kalau sudah menikah, tanggung jawabmu hanya pada pasangan dan anak.” Pola pikir ini sering membuat generasi muda terjebak dalam ekspektasi keluarga besar. Banyak orang tua yang menuntut perhatian penuh dari anak-anak mereka tanpa mempertimbangkan tekanan yang mereka alami di tengah tuntutan pekerjaan dan keluarga inti (Arnett, 2015).

Kesimpulan: Mengadopsi Pola Pikir Baru

Belajar seumur hidup bukan hanya tentang mempelajari hal-hal teknis, tetapi juga tentang membuka hati dan pikiran terhadap cara pandang yang berbeda. Orang tua yang mau belajar dan beradaptasi dengan perubahan zaman tidak hanya membantu anak-anak mereka, tetapi juga memperkaya hidup mereka sendiri.

Seperti yang dikatakan oleh Alvin Toffler, seorang futurolog terkenal, "Buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tidak bisa membaca atau menulis, melainkan mereka yang tidak bisa belajar, melupakan, dan belajar kembali" (Toffler, 1970). Orang tua yang terus belajar akan mampu menjembatani kesenjangan generasi, menciptakan hubungan yang lebih harmonis, dan membantu anak-anak mereka menghadapi masa depan dengan percaya diri.

Penulis: Barus Afandi




Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org