Rendahnya Inisiatif Remaja terhadap Dunia Literasi sebagai Media Perubahan
Sumber Gambar: Dokumen Pribadi Penulis |
Melihat perkembangan dunia digital saat ini, terdapat fenomena yang cukup memprihatinkan di kalangan remaja, yakni rendahnya inisiatif terhadap literasi sebagai sarana perubahan. Remaja, khususnya pelajar, sering kali melupakan kewajiban utama mereka untuk membaca, yang sejatinya merupakan aktivitas pokok guna menambah pengetahuan dan wawasan. Sayangnya, waktu luang mereka cenderung tersita oleh penggunaan perangkat digital, terutama ponsel, yang lebih banyak digunakan untuk hal-hal kurang produktif. Misalnya, aktivitas scrolling media sosial yang kontennya tidak memberikan manfaat intelektual, bermain game secara berlebihan hingga lupa waktu, atau sekadar mencari hiburan yang tidak mendukung pengembangan diri.
Fenomena ini tidak terlepas dari gejala yang disebut “Brain Rot”, sebuah istilah yang dinobatkan oleh Oxford sebagai Word of the Year 2024. Istilah ini merujuk pada penurunan kondisi intelektual seseorang akibat terlalu lama men-scroll konten berkualitas rendah di media sosial. Dalam kehidupan virtual, bahaya Brain Rot menjadi sangat relevan karena menunjukkan dampak negatif dari cara sebagian besar remaja menghabiskan waktu luang mereka.
Kebiasaan buruk ini semakin diperparah dengan asumsi bahwa membaca adalah aktivitas yang membosankan dan membuat mengantuk. Pandangan ini kerap menjadi alasan utama mengapa literasi, baik membaca maupun menulis, kurang diminati. Akibatnya, remaja terjebak dalam kebiasaan yang membuat mereka tidak menyadari posisi mereka sebagai pelajar yang seharusnya terus mencari pengetahuan. Sebaliknya, mereka lebih memilih aktivitas yang bersifat rekreasional namun minim manfaat intelektual, seperti menghabiskan waktu dengan media sosial atau gim. Hal ini didukung oleh fakta yang dikeluarkan UNESCO, yang menyebutkan bahwa Indeks Minat Baca masyarakat Indonesia hanya sebesar 0,001%, atau dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca.
Dari data tersebut, dapat dilihat bahwa minat baca masyarakat Indonesia masih sangat rendah. Padahal, literasi membaca memiliki peran penting dalam membawa perubahan, baik dari segi pemikiran, pengetahuan, maupun keberanian untuk berinovasi. Menurut Riley (dalam Dafit et al., 2020), literasi merupakan dasar keberhasilan dalam pembelajaran. Oleh karena itu, remaja perlu menyadari bahwa membaca bukan sekadar tugas atau kewajiban, melainkan sebuah proses untuk keluar dari ketidaktahuan dan kebuntuan. Salah satu cara untuk mengatasi rendahnya minat baca ini adalah dengan memanfaatkan teknologi digital sebagai media literasi. Platform digital yang menawarkan konten menarik, seperti cerita interaktif, artikel pendek, atau audiobook, dapat menjadi pintu masuk yang menarik bagi remaja untuk mengenal dunia literasi.
Selain itu, pendekatan bertahap dalam membaca dapat diterapkan, dimulai dari bacaan ringan yang sesuai dengan minat remaja, seperti novel populer, komik, atau artikel inspiratif, hingga akhirnya berkembang ke bacaan yang lebih kompleks, seperti biografi, jurnal, atau artikel ilmiah. Langkah ini membantu mereka membangun kebiasaan membaca secara perlahan namun berkelanjutan. Sekolah juga memiliki peran penting dalam mendorong minat literasi dengan memperbanyak kegiatan literasi, seperti program membaca wajib di awal pelajaran atau diskusi buku mingguan. Guru dapat berkontribusi dengan menyisipkan materi bacaan yang relevan dalam pembelajaran, sehingga literasi menjadi bagian integral dari kehidupan akademik siswa.
Untuk menarik minat remaja, media sosial dapat dimanfaatkan sebagai sarana kampanye literasi dengan konten yang menarik, seperti tantangan membaca, video edukasi, atau cerita inspiratif dari tokoh terkenal. Edukasi tentang bahaya Brain Rot juga penting dilakukan melalui seminar atau workshop yang relevan dan interaktif, sekaligus mendorong pola digital yang sehat, seperti penggunaan aplikasi pembatas waktu untuk media sosial.
Lingkungan yang mendukung literasi juga perlu dibangun. Perpustakaan kecil di sekolah atau komunitas dapat menjadi ruang nyaman bagi remaja untuk membaca. Di sisi lain, keluarga dapat membiasakan waktu membaca bersama di rumah, sehingga literasi menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Penghargaan atas prestasi literasi, seperti publikasi karya tulis siswa atau penghargaan “Pembaca Terbaik”, juga dapat menjadi motivasi tambahan.
Sebagai penutup, pengalaman pribadi sering kali menjadi pelajaran berharga. Penulis sendiri pernah berada dalam situasi serupa, merasa rentan melupakan kewajiban membaca akibat ketidakseimbangan waktu yang dihabiskan untuk media sosial dan kegiatan akademik. Namun, dengan tekad untuk berubah, penulis menyadari pentingnya menemukan potensi diri melalui literasi. Literasi bukan sekadar kewajiban, melainkan kunci untuk memperluas wawasan, memperbaiki cara berpikir, dan meningkatkan rasa percaya diri. Mari kita jadikan literasi sebagai gaya hidup, demi menciptakan generasi yang lebih cerdas dan tangguh dalam menghadapi tantangan zaman.
Penulis