Cerpen: Gambar Anakku - Angelina Delviani
“Mama, mana yang lebih biru, langit atau laut?” Tanya anakku Starla, ketika kami berbincang di teras rumah.
Aku yang sibuk bermain ponsel menjawab asal, “tentu saja langit.”
Minggu depan anakku berusia sembilan tahun. Aku dan suamiku sibuk mempersiapkan pesta untuknya. Setiap tahun memang akan kami adakan pesta meskipun sederhana. Tahun ini, aku berniat membelikannya buku gambar sebab ia sudah mulai pandai menggambar dan mengenal warna.
Keesokan harinya, aku menemukan buku gambar itu tergeletak di atas meja belajarnya. Perlahan aku buka, halaman pertama membuatku tercengang. Bagaimana tidak, di buku gambar anakku, sepasang gunung menjulang, pohon-pohon kering kecoklatan, sawah yang gersang ditumbuhi padi yang menguning sebab tidak diairi dan petani yang menunduk sedih.
Gambar itu begitu hidup, seolah memancarkan aura suram yang menyelinap hingga ke dadaku.
Semuanya terlihat begitu aneh, aku bergegas ke luar dan menjumpai dunia seperti di gambar anakku. Dunia seperti berubah menjadi lukisan kelam yang terlahir dari tangan mungilnya
“Ini tidak mungkin.” Batinku.
Aku mencoba membuka lembaran kedua, berharap anakku menggambar sesuatu yang indah. Harapanku luruh saat melihat gambarnya. Kali ini gedung-gedung tinggi menjulang di tengah kota baru, mengusir setiap penduduk asli, kendaraan berdesakan di jalan serta asap kendaraan mengepul menutup langit sehingga matahari tidak lagi bersinar.
Kepanikah mulai menjalari tubuhku. Dengan langkah berat, aku pergi ke jalanan, dan dunia kembali mencerminkan gambar anakku. Gedung-gedung tinggi berdiri kokoh dengan bayangan kelabu, kendaraan berjejer seperti semut yang saling menghimpit dan suara klakson bersahutan, memekakkan telinga. Langit di atas kepala tertutup asap pekat.
Lembar ketiga aku buka dengan tergesa, rasa ingin tahu bercampur cemas menyelubungi hatiku. Di halaman itu, tergambar sebuah keluarga yang duduk di meja makan. Namun, yang membuat dadaku terasa sesak adalah suasana di dalamnya: meja makan kosong, tak ada makanan di sana. Hanya ada cahaya layar ponsel yang menyala di tangan anggota keluarga, tak ada sapa apalagi percakapan. Aku menahan napas, kutahu anakku menggambar kami. Kami yang sering duduk tapi tak benar-benar hadir.
Pelan-pelan aku menutup buku gambar anakku. Dia menciptakan dunia dengan sangat mengerikan, entah dari mana imajinasi itu.
Siang itu semuanya menjadi berbeda, hingga membuatku tertidur. Ketika petang tiba, sebuah suara pintu yang terbuka membangunkanku, rupanya itu suamiku yang baru saja pulang kerja.
“Ayo bangun, kenapa kau tertidur di ruang tamu?” kata suamiku yang terdengar samar.
Aku menggeliat perlahan, masih terjebak dalam bayangan dari gambar-gambar anakku. “Coba buka buku gambar anak kita dan lihatlah langit sangat murung dan dunia tidak seperti biasanya.”
“Kita belum membelikannya buku gambar, kau sudah tertidur sejak tadi. Ayo bangun dan buatkan kue ulang tahun untuk anak kita.” Ajaknya sembari menarik tanganku.
Aku bangun dan melihat sekeliling seperti biasanya, sejuk dan indah. Kulihat gunung menjulang hijau dan kicau burung menyibak sekeliling pohon. Aku menarik napas panjang, membiarkan kesegaran itu memenuhi dadaku. Dalam keheningan, muncul kesadaran dalam benakku.
“Sebelum aku membelikan buku gambar untuk anakku, aku harus ciptakan dunia yang indah di benaknya. Sebab, imajinasinya adalah cerminan dari apa yang ia lihat, dengar dan rasakan.”
Aku berjalan menuju dapur, bersiap membuat kue ulang tahun sederhana untuk anakku, sebab aku ingin mempersembahkan dunia yang lebih berwarna untuknya.
Tentang Penulis
Angelina Delviani, mencintai cerpen sebagai dunia dalam kata.