Membongkar Dimensi Kritis Wacana Melalui Pendekatan Teun A. Van Dijk dalam Menganalisis Bahasa dan Kekuasaan

Oleh: Adriani Miming

Wacana tidak hanya menjadi medium komunikasi, tetapi juga merupakan cerminan struktur sosial yang melibatkan kekuasaan, ideologi, dan dominasi. Dalam studi bahasa dan komunikasi, Analisis Wacana Kritis (AWK) menjadi pendekatan yang sangat relevan untuk memahami hubungan antara teks, konteks sosial, dan praktik kekuasaan. Salah satu tokoh yang memiliki kontribusi besar dalam pengembangan AWK adalah Teun A. van Dijk.

Model analisis yang dikembangkan oleh van Dijk menawarkan kerangka kerja yang mendalam untuk mengeksplorasi teks melalui tiga dimensi utama: struktur teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pendekatan ini tidak hanya membantu mengidentifikasi pola-pola dalam bahasa, tetapi juga mengungkap bagaimana ideologi dan kekuasaan dibentuk, dipertahankan, atau ditantang melalui wacana.

Esai ini akan membahas prinsip dasar Analisis Wacana Kritis model Teun A. van Dijk, termasuk penerapan dan relevansinya dalam mengkaji fenomena sosial melalui teks dan wacana yang bertujuan untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang bagaimana bahasa menjadi alat penting dalam membentuk dan memengaruhi struktur sosial.

Menurut van Dijk (2001, 1997a, dan 1997b), wacana adalah proses dan produk kognisi sosial. Proses menunjuk pada kejadian, peristiwa, penciptaan wacana dalam suatu ruang (space) dan tempat (place), pada suatu waktu (time), dan dalam suatu keadaan (situation). Proses yang dimaksud adalah proses yang dilalui penutur, atau penulis, atau penyaji wacana yang memiliki konteks ruang, waktu, dan suasana. Sedangkan produk menunjuk kepada wacana sebagai hasil karya penutur, atau penutur, atau penyajinya. 

Bertolak dari pemahaman tersebut analisis wacana berarti analisis wujud tutur penutur, atau wujud literal penulis, atau wujud tanda penyajinya. Namun demikian, penyajian deskripsi wujud tutur, literal, dan semiotis masih bersifat permukaan karena belum mempertimbangkan konteks. Analisis wacana yang utuh dan mendalam memperhatikan penutur dengan maksud dan tujuan, dan dengan peran dan kedudukannya dalam situasi tutur dan situasi sosial.

Selain itu, penafsiran dan penjelasan wujud, atau tulisan, dan atau saji tanda semiotis wacana dapat utuh dan mendalam hanya jika analis (pelaku analisis) memperhatikan pula waktu, tempat, dan suasana baik dalam arti konteks mesolevel maupun makro level. Perhatian pada konteks mesolevel terpusat pada peristiwa tutur, tulis, dan saji tanda di tempat, pada waktu, dan dalam suasana ketika interaksi interpersonal berlangsung. Sedangkan perhatian pada konteks makrolevel dipusatkan pada ruang, waktu, dan suasana sosial masyarakat di mana penutur, penulis, atau penyaji tanda menjadi warganya.

Menurut van Dijk, penggambaran, penafsiran, dan penjelasan wacana berpijak pada pemahaman bahwa wacana adalah hasil kognisi. Dalam rumusannya sendiri, analisis wacana menggunakan kerangka tridimensional, tiga dimensi/aspek yang berpijak pada segitiga wacana, kognisi, dan masyarakat. Analisis memperhatikan ketiga sudut (van Dijk, 2001). Sudut wacana dianalisis dalam hubungannya dengan sudut kognisi dan dan sudut masyarakat.

Secara figural, segitiga tersebut digambarkan dan dideskripsikan berikut Van Dijk (Dangku,2020).

Sumber gambar: Tridimensional Analisis Wacana Van Dijk dalam Dangku (2020)

Antara ketiga sudut saling berhubungan. Dalam segitiga tersebut, wacana dipahami sebagai hasil proses penciptaan yang melibatkan sumber daya berpikir dalam menata wujud tutur, tulisan, dan tanda bahasa dan alasan, tujuan, kepentingan, dan kuasa yang berperan dalam tatanan wacana (order of discourse). Namun, wacana diciptakan tidak semata-mata melibatkan kognisi personal dan kognisi interpersonal dan kognisi sosial.

Wacana dihasilkan dalam interaksi penutur dan penyimak, penulis dan pembaca, penyaji dan penatap tanda. Wacana dihasilkan dengan cara dan pola pikir pencipta, penghasil, pengarang dalam hubungan interpersonal dengan pihak yang berinteraksi dalam masyarakat dengan peran dan kedudukan, dengan identitas dan kepentingan masing-masing, dan dengan relasi kuasa antara mereka. Lebih luas dari itu, para partisipan wacana adalah warga masyarakat di mana mereka adalah individu-individunya. Mereka berinteraksi secara interpersonal, tetapi bertindak mencerminkan kearifan lokal (local genius), pengetahuan lokal (local knowledge), pandangan hidup, norma, dan nilai masyarakat.

Bertolak dari segitiga tersebut disimpulkan secara rinci bahwa wacana adalah hasil karya kognisi personal, interpersonal, dan sosial penulis, penutur, penyaji tanda semiotis wacana. Kesaling berhubungan antara ketiga sudut analisis wacana mendudukan wacana sebagai sasaran analisis yang memiliki dimensi kognitif personal, interpersonal, dan sosial. Dalam rumusan lain, wacana adalah karya kognitif warga secara personal (identitas), interpersonal (komunitas), dan sosietal/kemasyarakatan (sosietas/masyarakat). Warga bertutur, atau menulis, atau menyajikan tanda semiotis menggambarkan kognisi personal, interpersonal, dan sosietalnya. Rumusan lain, masyarakat tercermin pada wacana hasil penutur, penulis, penyaji yang menjadi warganya.

Konsekuennya analisis wacana memperhatikan tiga dimensi atau aspek kognitif wacana, yaitu analisis dimensi kogninitif personal, dimensi kognitid interpersonal, dan dimensi kognitif sosial wacana. Analisis dimensi kognitif personal wacana dipusatkan pada analisis wujud tutur, tulisan, dan saji tanda semiotis, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat sebagai satuan terkecil.

Bertolak dari dimensi ini, analis melakukan interpretasi dimensi kognitif interpersonal wujud tutur, tulisan, dan saji tanda semiotis sebagai peristiwa komunikatif (van Dijk, 1997b). Tuturan, tulisan, dan tanda semiotis dihasilkan penutur, penulis, dan penyaji tanda semiotis dalam hubungan interpersonal mitra tutur, pembaca, dan penyadap tanda tentang suatu hal, dengan suatu alasan, di suatu tempat, pada suatu waktu, dan dalam suatu suasana. Analisis di sini memperhatikan dimensi pragmatik wacana yang dapat dirumuskan dengan pertanyaan-pertanyaan: what, who&whom, why, where, when, and how. Apa yang mereka tuturkan, atau tuliskan, atau sajikan dan kepada siapa? Mengapa mereka tuturkan, atau tuliskan, atau sajikan? Di mana mereka tuturkan, atau tuliskan, atau sajikan? Kapan mereka tuturkan, atau tuliskan, atau sajikan? Lalu, bagaimana suasana mereka tuturkan, atau tuliskan, atau sajikan? Pada dimensi ini analis mendayagunakan pemahaman pragmatik tindak tutur sebagai satuan terkecil pragmatik wacana.

Dimensi terluas (makrodimensi) berkenaan dengan wacana sebagai karya kognisi sosial. Pikiran penutur dan mitra tutur mencermikan kearifan, pendangan, pengetahuan, norma, dan nilai masyarakat di mana mereka menjadi warganya. Sebaliknya, pikiran partisipan wacana memengaruhi, mewarnai, membentuk, dan bahkan mengubah masyarakat. Pada dimensi ini perhatian dipusatkan pada latar sosial penutur, seperti suku, ras, agama, profesi, gender, usia, kedudukan dan peran, dan lain-lain partisipan dalam masyarakat. Isu wacana yang dianalisis dalam konteks sosietal, kultural, politik, ekonomi, sektoral, dan lain-lain. Tempat dianalisis sebagai lokasi masyarakat di mana partisipan wacana menjadi warganya. Waktu yang dianalisis berhubungan dengan kurun sejarah yang dapat dibentangkan menurut episode dan periode. Demikian pula, partisipan wacana berada dalam suasana sosial, seperti konflik, atau perang, atau damai. Suasana wacana juga menggambarkan situasi sosial formal, atau informal, atau campuran formal dan informal.

Selain segitiga, van Dijk (2011:609) juga menjelaskan level lingkup atau cakupan wacana atas, makro, meso, dan mikro. Level lingkup atau cakupan analisis ini dikenakan pada struktur, topik, dimensi, dan konteks wacana. Berdasarkan level tersebut, struktur, topik, dimensi, dan konteks wacana tergambar pada tabel berikut (2011:609 dan Bdk.Eryanto, 2005).

Tabel 1: Level lingkup atau cakupan analisis wacana Van Dijk

Level

Struktur

Konten

Dimensi

Konteks

Makrolevel

Superstruktur:

ekstrawacana

Makrotopik: Topik teks

Sosietal (sosial)

Makrokonteks:

Konteks sosial

Mesolevel

Struktur:

intrawacana

Skema topik:

Komposisi/

Susunan teks dan sebaran topik

Interpersonal (situasional)

Mesokonteks:

Konteks situasional

Mikrolevel

Substruktur:

intrawacana

Mikrotopik

Personal

Mikrokonteks:

Koteks

Pilihan arah level menentukan identitas entah analisis wacana dipakai sebagai analisis linguistik atau analisis nonlinguistik. Ini terjadi karena analisis wacana dijadikan pula sebagai metode analisis dalam ilmu-ilmu lain. Analisis linguistik atau nonlinguistik ditentukan pilihan arah level cakupan analisis wacana. Berkenaan dengan ini, van Dijk membedakan arah analisis wacana atas analisis atas-bawah (top – down) dan bawah-atas (bottom – up) (van Dijk, 1997b). Pada analisis wacana berarah atas – bawah, analis bertolak dari level makro, kepada meso, dan akhirnya mikro. Sebaliknya, analisis bawah – atas, wacana dianalisis bertolak dari mikrolevel, berlanjut pada mesolevel, dan berakhir pada makrolevel.

Secara ontologis, analisis wacana linguistik adalah analisis bahasa sebagai realitas linguistik yang memiliki bentuk dan makna. Peneliti dapat mengetahui makna melalui bentuk bahasa karena bentuk bahasa memuat, mengungkapkan, dan menandakan makna, fungsi, strategi pemakai bahasa. Sementara secara epistemologis, pengetahuan bahasa secara utuh hanya dapat dicapai dengan mengetahui bentuk dan makna sekaligus. Tidak ada makna tanpa bentuk atau tanda bahasa. Sedangkan suatu bentuk berpeluang bermakna atau tidak bermakna, seperti bentuk dan struktur yang acak dan tidak gramatikal.

Pemahaman ontologis dan epistemologis tersebut menentukan metode dan prosedur metodologis analis atau peneliti bahasa, yaitu melakukan observasi data bentuk atau tanda bahasa untuk menyimak dan menyingkap maknanya. Peneliti dapat pula menggunakan metode wawancara memancing narasumber untuk berbicara agar terjaring data bentuk atau tanda bahasa dan diikuti simak dan singkap maknanya. Peneliti dapat pula meminta narasumber menuliskan maksud atau jawabannya sehingga dapat disimak dan disingkap maknanya.

Pijakan filsafat ilmu bahasa tersebut menjadi dasar penentuan arah analisis wacana linguistik dari bawah ke atas. Analis bertolak dari bentuk bahasa berlanjut pada analisis strategi dan fungsi yang menentukan konteks makna wacana sebagai penggunaan real dan aktual bahasa. Arah analisis menentukan identitas linguistik analisis wacana linguistik penelitian. Oleh karena itu, dalam penelitian ini penyusun bertolak dari level mikro kepada makro.

Berdasarkan paparan tersebut, bentuk, strategi, dan fungsi perspektivasi koalisi dan oposisi pada wacana berita geothermal poco leok dalam penelitian ini dapat dijelaskan.

Pertama, bentuk. Bentuk bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah wujud tutur, tulis, dan tanda bahasa setara kalimat/tuturan sebagai satuan terkecil wacana (van Dijk, 1997a dan 1997b). Sajian dan kajian bentuk satuan wacana di sini dibantu pemahaman sintaksis yang menggolongkan satuan kalimat berdasarkan modus, yaitu modus deklaratif, interogatif, imperatif, dan eksklamatif. Masing-masing modus kalimat memiliki arti dan berperan sebagai satuan struktur wacana. Kalimat bermodus deklaratif disusun sebagai cara memberikan informasi, berita, pesan dan menyatakan atau menegaskan suatu kebenaran secara objektif. Kalimat bermodus interogatif disusun sebagai cara meminta informasi, tanggapan, dan sikap/tindakan. Kalimat bermodus imperatif disusun sebagai cara menyuruh, melarang, dan mengajak. Lalu, kalimat bermodus eksklamatif disusun sebagai cara mengungkapkan suatu perasaan, seruan sikap, dan cetus harapan.

Kedua, fungsi. Dalam wacana (language in use), bentuk bahasa digunakan penutur untuk suatu fungsi. Secara lugas, Halliday (2020) menyatakan bahwa language in use is making meaning, wacana sebagai bahasa yang digunakan menciptakan makna. Bahkan, menurutnya meaning is function, makna adalah fungsi. Itu berarti bahwa makna dalam wacana dibentuk oleh fungsi satuan bahasa/kalimat yang digunakan. Misal, fungsi asertif dapat bermakna menyatakan kebenaran, menegaskan sikap, pendirian; fungsi direktif dapat bermakna meminta, mengarahkan, menyuruh/memerintah; fungsi ekspresif dapat bermakna menghargai dan peduli dengan memberi salam, memuji, mencela, memarahi, melarang, mengkritik; fungsi komisif dapat bermakna janji, rencana, tekad, niat; dan fungsi deklaratori dapat bermakna memutuskan, memberlakukan, dan mengumandangkan, seperti pernyataan deklaratori pada nikah, baptis, pemberian nama hal/barang/tempat, putusan pengadilan, deklarasi/proklamasi kemerdekaan.

Misal, tuturan/kalimat: Merdeka tolak geothermal dapat berfungsi ekspresif yang bermakna menolak, melawan otoritas yang memutuskan dilakukan penambangan geothermal; menolak, melawan koalisi progeothermal. Kalimat tersebut dapat pula berfungsi asertif yang berarti menyatakan kebenaran pilihan sikap tolak geothermal; berfungsi direktif yang berarti meminta, menyuruh, mendesak otoritas penguasa untuk menghentikan penambangan, jugameminta, menyuruh, mendesak koalisi progeothermal menghentikan dukungannya; berfungsi ekspresif yang bermakna menuntut otoritas penguasa menarik, menangguhkan, membatalkan izin menambang, mengkritik pemberian izin menambang; melarang memberikan izin. Juga dapat bermakna menuntut koalisi progeothermal berhenti mendukung; mengkritik koalisi progeothermal sebagai perilaku buruk; dan melarang koalisi progeothermal mendukung geothermal.  

Ketiga, strategi. Bentuk tutur, tulis, dan saji tanda wacana disampaikan dengan strategi tertentu. Salah satu strategi penyampaian bentuk wacana adalah perspektivasi. Perspektivasi dimaknai sebagai siasat dan taktik menyampaikan maksud, tujuan, dan kepentingan dari suatu perspektif, sudut pandang, kerangka pikir. Secara aktual, perspektivasi diwujudkan dengan representasi, yaitu penyajian, penghadiran, atau pengolahan kembali maksud, tujuan, dan kepentingan dalam bentuk bahasa yang dipilih dari perspektif seorang penutur atau kelompok sendiri dan tentang mitra tutur atau kelompok lain. Dalam kajian komunikasi, perspektivasi disebut framing, yaitu pembingkaian di mana penutur/kelompok sendiri dikontraskan dan bahkan dikontrakan dengan mitra tutur/kelompok lain.

Lebih lanjut van Dijk membedakan dua jenis strategi perspektivasi, yaitu representasi diri dan kelompok sendiri positif dan orang dan kelompok lain negatif; penonjolan dan peninggian diri dan kelompok sendiri (own emphasization) dan pengaburan, pelemahan, dan perendahan orang/kelompok lain (other deemphasization); dan pengagungan dan membesar-besarkan diri/kelompok sendiri (own glorification) dan perendahan orang/kelompok lain (other degradation). Misal, pada kalimat eksklamatif: Merdeka tolak geothermal. Seruan ini berada dalam perspektif/frame koalisi anti geothermal. Dalam perspektif/frame ini, perilaku tutur penutur direpresentasikan positif karena dalam perspektif/frame koalisi tolak geothermal menolak geothermal termasuk sikap positif; penutur mendukung koalisi tolak geothermal. Sebaliknya, dukung geothermal dalam perspektif koalisi antigeothermal termasuk perilaku negatif. Perilaku tolak geothermal ditonjolkan (own emphasization) sedangkan penolak anti geothermal dilemahkan (other deemphasization). Sikap tolak geothermal diglorifikasikan dan dukung geothermal didegradasikan.

Hubungan bentuk, fungsi, dan strategi dapat dijelaskan dalam tabel berikut.

Tabel 2: Hubungan bentuk, fungsi, dan strategi

Bentuk Modus Wacana

Fungsi Bentuk Wacana

Perspektivasi Wacana

Positif

Negatif

Deklaratif

Asertif

 

 

 

Direktif

 

 

 

Eskpresif

 

 

 

Komisif

 

 

 

Deklaratori

 

 

Contoh:

Data             : “Merdeka tolak geothermal”

  (medialabuanbajo.com, 7 Agustus 2023)


Konteks      : Tuturan tersebut disajikan wartawan media daring medialabuanbajo.com pada 17 Agustus 2023 yang dikutip dari seruan koalisi tolak geothermal pada perayaan 17 Agustus 2023. 

Data tersebut menampilkan bentuk eksklamatif, yaitu cara mengungkapkan suatu perasaan, seruan sikap, dan cetus harapan. Koalisi antigeothermal bertujuan mengungkapkan keberanian membela sikap tolak geothermal dengan merdeka sebagai implementasi jiwa merdeka momen 17 Agustus 2023.  Bentuk eksklamatif menunjukkan data tersebut bisa berfungsi sebagai, Pertama, Kalimat tersebut dapat berfungsi asertif yang berarti menyatakan kebenaran pilihan sikap tolak geothermal. Kedua, kalimat tersebut berfungsi direktif yang berarti meminta, menyuruh, dan mendesak otoritas penguasa/pemda Manggarai untuk menghentikan aktivitas geothermal. Fungsi direktif kalimat tersebut juga bermakna meminta, menyuruh, mendesak koalisi progeothermal menghentikan dukungannya. Kalimat tersebut juga dapat berfungsi ekspresif yang bermakna menuntut otoritas penguasa menarik, menangguhkan, membatalkan izin menambang; mengkritik pemberian izin menambang; melarang memberikan izin. Juga dapat bermakna menuntut koalisi progeothermal berhenti mendukung; mengkritik koalisi progeothermal sebagai perilaku buruk; dan melarang koalisi progeothermal mendukung geothermal.

Berdasarkan strategi perspektivasinya, koalisi antigeothermal direpresentasikan positif, yaitu sikap tolak geothermal mencerminkan jiwa merdeka, sedangkan oposisi, yaitu penguasa pemberi izin geothermal dikuasai, dijajah, dibayar, dibeli investor. Koalisi progeothermal menolak geothermal karena dijajah kepentingan dengan cari muka kepada penguasa atau dijajah oleh kuasa uang yang dibayar investor/kapitalis. Presentasi positif lain adalah penonjolan nilai luhur tolak geothermal (own emphasization) untuk menjaga warisan nenek moyang, menyelamatkan dan menjaga lingkungan hidup, menghindari dan mencegah dampak buruk eksploitasi geothermal. Sedangkan presentasi negatif adalah pelemahan oposisi penguasa dan koalisi progeothermal sebagai pihak lemah dan kalah di hadapan kuasa uang pengusaha.

Analisis Wacana Kritis (AWK) model Teun A. van Dijk memberikan kerangka kerja yang komprehensif dalam memahami wacana sebagai hasil interaksi antara teks, kognisi, dan masyarakat. Dengan pendekatan tridimensional, yaitu hubungan antara struktur teks, kognisi sosial, dan konteks sosial, van Dijk mengungkapkan bahwa wacana tidak hanya sekadar produk bahasa, tetapi juga cerminan ideologi, kekuasaan, dan struktur sosial.

Pendekatan ini memungkinkan analisis dari level mikro hingga makro untuk mengeksplorasi bentuk, fungsi, dan strategi wacana dalam berbagai konteks. Penelusuran ini mencakup dimensi personal, interpersonal, dan sosial, memberikan pemahaman mendalam tentang bagaimana bahasa menjadi alat untuk mempertahankan, menantang, atau mengubah struktur sosial dan nilai-nilai masyarakat.

Dalam penerapannya, AWK model van Dijk tidak hanya relevan dalam lingkup linguistik tetapi juga dapat digunakan untuk menganalisis isu-isu sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Dengan demikian, pendekatan ini menjadi alat yang sangat penting untuk mengungkap realitas sosial melalui bahasa dan wacana yang digunakan dalam interaksi sehari-hari.


Next Post Previous Post

mungkin anda suka

sr7themes.eu.org